Rabu, 19 November 2008

AKTIVIS ITU APA ?

Musti mo sanang atau perlu ba pikir ulang stau kang kita ?!
Tiap baku dapa deng tamang – tamang salalu dorang ba togor deng sebuatan bagitu.
Ini bukang soal dorang pe ba togor, kita pikir deng bahkan samua orang pasti bapikir sama deng kita, kalau orang batogor itu sebagai bentuk keakraban diantara manusia dan perlu dua orang atau lebih untuk menjalin sebuah keakraban.
Tapi, yang bekeng kita bapikir akang itu depe ba pangge pa kita deng sebutan ”AKTIVIS”. Ini yang bekeng kita hanya senyum – senyum malu pa diri sandiri sampe jaga ba ukur – ukur pantas atau tidak kita dapa sebutan bagitu.
Sama deng baru saja kita alami, pas baru mo pulang ka kos ada mo pigi ba tunggu oto, kita baku dapa deng tamang satu angkatan di fakultas.
Deng depe suara yang ba bas skali kong deng ba taria’ sebagai sebuah bentuk ekspresi keakraban dia ba togor deng suara karas.
“Eh, aktivis!! Apa kabar !?”
“Bagaimana ini keadaan ?”
Dengan cukup senyum malu campur risih tanpa mengurangi suasana keakraban yang terjadi. Kita ba jawab singkat.
“Bae – bae”
Tanpa kehilangan bahan, dia kembali melanjutkan keakraban.
“kita dapa lia pa ngana di televisi kemarin ada di demo, di siaran berita daerah.”
“Mantap !!”
Kita ba jawab deng tatawa kiring’
“Hehe……!!”
Sekaligus ada ba inga – inga ulang kapan ada turun demo.
Lagi – lagi hanya karna tidak ingin mengurangi pertemuan penuh “keakraban” (kali ini pake tanda kutip), kita hanya senyum – senyum saja sambil menganggukkan kepala tanpa tahu sebagai penanda untuk apa, karena hanya kebingungan yang ada dalam kepala dengan pertanyaannya.
Teman itu kembali bertanya, laki inidengan persoalan kuliah.
“Ada baurus apa skarang !?”
“So klar ?”
Ada granat maladak ( silahkan ditirukan atau minimal di bayangkan saja bagaimana granat maladak di kapala)
Deng sedikit malas kita berusaha ba jawab deng jujur.
Untuk jawaban pertanyaan pertama dan kedua. Sekaligus.
“Sibuk ba urus skripsi.”
Singkat padat jelas tanpa rekayasa mimik.
“capat – capat jo”
“so banyak torang pe satu angkatan yang so klar”.
Granat maladak lagi.
Lanjutnya lagi.
”Ngana ini memang Si Anak Hilang”
“Makanya, kita so jaga ba urus kita pe skripsi skarang”
Kita ba tanggapi depe cirita.
Kong somo ka mana ini ?
“Pulang kos, mo istirahat dulu”
Singkat saja untuk menjawabnya.
“Oke dang kalo bagitu”.
“Yoai”. Kita ba jawab depe salam perpisahan.
Perjumpaan dengan tamang ba bekeng satu pertanyaan timbul.
Lagi – lagi ini soal kata aktivis
Apa so sebenarnya aktivis itu.
Apakah orang yang sering turun demonstrasi, aktif di organisasi khususnya organisasi mahasiswa, yang depe kuliah nda ta urus kong tambah le punya gaya berpakaian yang lain dari yang lain itu bisa disebut sebagai aktivis.
Hah !!. Dari pada pusing – pusing ba pikir, lebe bae ba pikir bagaimana mo klar kuliah supaya granat nda mo maladak.
Toh, tiap orang punya pendapat berbeda soal kata itu. Yang penting, kita aktif di organisasi bukan pada persoalan supaya mo dapa pangge deng kata itu. Mar nintau yang laen bagaimana. Itu dorang pe hak berpikir.
Manado (kos al katras), 06 – 06 – 2007

Selasa, 04 November 2008

PERANG KU UNTUK ERANG MU

Disini kuangkat senjata
Agar senyum kembali mekar
Disini ku bertaruh nyawa
Agar seluruh dunia tahu, kita bukan kumpulan budak

Desingan senjata tak kan kuhirau
Deru peluru bak hujan tak kan bisa buat ku gentar
Malah akan kubuat semua terpukau
Meski peluru menembus mengoyak dada

Demi tanah dimana ku berpijak
Demi air penghilang dahaga
Demi udara yang kuhirup hembuskan
Demi api yang senantiasa memberi hangat
Demi kita agar tak lagi membudak
Kupertaruhkan jiwa raga

Ini perang ku
Perang kita
Tuk hentikan erang mu
Erang kita

ANGKAT SENJATA

Parang
Tombak
Panah
Dan apapun senjata buatan kita
Meski dibilang tradisional
Masih lebih berharga
Ketimbang
Kita harus terus tertunduk
Menghamba
Membudak
Mengangguk
Dan takut untuk mengatakan TIDAK
Hanya karna lembaran – lembaran kertas perjanjian
Yang ditandatangani dengan menggadaikan seluruh nyawa bangsa

28 – 05 – 2008

MARI BERPERANG

Pabila damai buat kita terus menghamba

Membudak pada sesama

Jadi sahaya pada lain bangsa

Untuk apa kita merdeka

Jikalau merdeka hanyalah bualan

Sekedar pemberian diatas meja perundingan

Menjadi lipstick sepanjang zaman

Untuk apa lagi kata merdeka kita teriakkan

Kita butuh senjata

Tanpa harus kehilangan kata – kata

Kita harus kembali berperang

Meski senjata hanya sebilah parang

Parang akan lebih berarti ketimbang tumpukan kertas berisi kata – kata kemunafikkan

Barisan kata – kata indah penghianatan kepada bangsa sendiri

Sampai tak sadar kita saling bunuh satu sama lain

Sampai……

kehancuran datang menghampiri tanpa disadari

28 – 05 – 2008

Minggu, 26 Oktober 2008

ORANG – ORANG BERJUBAH PUTIH

Oleh; Fajran

Aku pergi meninggalkan tubuhku yang terbaring diatas tempat tidur. Kutatap tubuh yang selama ini kutempati, pulas dalam posisi terlentang dengan tangan kiri berada di dada dan tangan kanan yang terletak diatas jidat sedang kedua kaki dalam posisi tersusun dengan kaki sebelah kanan diatas kaki kiri. Sementara itu, waktu sudah hampir setengah lima pagi. Kubergegas menuju mushala sekolahku, di mushala inilah apabila aku dan tubuhku menyatu, kami menghabiskan waktu bersama dengan teman – teman untuk mengaji dan tentunya shalat berjamaah.

Aku mengganti baju kaosku dengan kemeja koko warna hijau dan sarung serta sajadah yang biasa aku dan tubuhku gunakan. Udara dingin di subuh ini terasa begitu menusuk. Aku memutuskan untuk mengambil air wudhu di mushala saja. Tak biasanya para penghuni rumah belum ada yang bangun, aneh. Padahal biasanya mereka yang membangunkan aku dan tubuhku, yang lebih aneh lagi tak terdengar suara pengajian dari corong mesjid. Sunyi senyap.

Aku berjalan menyusuri jalanan kompleks perumahan yang lengang. Belum lagi, udara dingin serta kabut tipis yang lebih menambah dinginnya pagi. Aku berjalan terus dan berharap bertemu teman – teman yang setiap subuh pasti bertemu disimpang tiga jalan, tapi tak ada. Ketakutan merambah dan menggerayangi, apalagi di salah satu rumah yang masih berada di kompleks perumahan ini baru saja ditimpa duka. Ayah dari seorang temanku belum cukup tiga hari meninggal dunia. Hal inilah yang menambah ketakutan ku saat berjalan melewati simpang tiga itu. Ku percepat langkahku agar bisa segera sampai di mushala. Tidak sampai 50 meter lagi aku sudah akan sampai di mushala namun kecemasanku belum juga hilang, sesekali aku menoleh kebelakang dan tidak sedikitpun untuk memperlambat jalanku dengan sesekali berdehem dan menghentakan kakiku sesekali untuk sekedar mengusir ketakutan.

Lega juga rasanya, saat aku telah sampai dipelataran mushala. Kulihat lampu dalam mushala begitu terang tak seperti biasanya. Terang benderang seperti dipancarkan dari sebuah lampu ukuran besar. Aku melewati teras mesjid dan sebentar saja menengok kedalam mesjid. Disana kulihat empat orang sedang duduk, mereka mengenakan jubah putih dan sorban, mungkin mereka adalah teman – temanku dari jamaah tablig yang semalam menginap disini, begitu pikirku. Selesai itu aku langsung menuju tempat berwudhu. Saat aku hampir selesai berwudhu, azan mulai dikumandangkan. Suara azan yang begitu merdu serta memberi semangat kepada setiap orang untuk bangun pagi itu dan rela menembus dinginnya pagi membuatku terhenyak. Bergegas aku mengenakan sarungku dan masuk kedalam mushala. Aku mengambil tempat duduk dibelakang mereka, dengan jarak agak jauh.

Azan subuh yang merdu dipagi itu selesai dikumandangkan. Aku terkejut saat sang muazin berbalik akan kembali ketempatnya semula, wajahnya begitu bercahaya dan memandang kepadaku dengan sunggingan senyum yang baru kulihat kali itu sebuah senyum yang menyejukkan hati. Kutatap terus sang empunya senyum istimewa itu, dengan mata keheranan dan tanya yang tiada habis. Seorang dari keempat orang itu berdiri dan berbalik menghadap padaku. Aku salah tingkah saat dia menatapku dengan tatapan dan wajah yang seperti sang muazin tadi. Aku tertunduk tak mampu menentang tatapan matanya yang lembut. Kini kulihat dia telah berdiri di hadapanku dan mengajakku berdiri.

“sahabat bangkitlah dari dudukmu“. Suaranya begitu lembut menggetarkan hatiku.

Kuangkat kepalaku dan kudapati dia tersenyum dan lengannya terulur dengan telapak tang terbuka seakan menunggu aku membalas uluran tangannya. Aku berdiri sambil memegang telapak tangannya. Aku begitu ketakutan.sampai dia kembali berkata yang menjadikan aku lebih tak mengerti dengan kejadian ini.

“ kau yang akan mengimami kami sekarang, dan kami telah menyediakan pakaian yang pantas untukmu.” Dia menoleh lagi kebelakang, kearah seorang temannya yang sedari tadi sudah berdiri, di kedua tangannya terdapat sebuah kain yag terlipat rapi. Temannya itu seolah sudah mengerti dengan maksud itu. Berjalan mendekatiku dan tanganku tetap menggenggam erat tangan salah satu dari mereka yang tadi memintaku berdiri. Dia mengambil lipatan kain itu dari temannya setelah melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Lipatan kain itu yang saat di buka adalah baju gamis lengkap dengan sorban yang semuanya berwarna putih. Aku terkejut, mendapat hadiah baju gamis dan sorban yang selama ini kuimpi – impikan. “pakailah”. Katanya, sambil meminta temannya yang membawakan lipatan baju tadi untuk membantuku mengenakan sorban. Kini, pakaianku telah diganti dengan pakaian gamis dan sorban putih sama seperti mereka berempat.

“Mari”, dia mengajakku menuju kearah kedua temannya yang tengah duduk. Saat aku dan kedua teman mereka telah berada dekat dengan mereka. Mereka berdiri, lagi – lagi wajah mereka begitu teduh dan senyum lembut yang tersungging , sama seperti kedua orang yang menemaniku tadi. Teman mereka yang tadi berbicara denganku yang menjadi juru bicara mereka mempersilahkan ku untuk duduk di tempat shalat imam. Awalnya aku ragu dan sekali lagi dia berkata dengan suara penuh kelembutan, “kau yang akan menjadi imam shalat subuh kami”. Perkataannya disambut dengan anggukan ketiga temannya. Aku melangkah menuju ke tempat shalat imam, kudapati disitu telah tergelar sajadah yang begitu indah, baru kali itu kulihat sajadah yang indah dan saat ku injakkan kakiku keatas sajadah itu, kain itu begitu lembut.

Aku berdiri dan kembali menoleh kepada mereka, mereka tersenyum. Sang muazin langsung mengungumandangkan qamat, suaranya yang merdu kembali kudengar. Tanganku bergetar saat mengangkat takbir pertama, tak kusangka saat aku mengucapkan takbir suara yang keluar dari tenggorokan kurasakan begitu merdu. Entah surat Al Qur’an apa yang kubaca saat shalat subuh itu. Shalat memasuki akhir, dan saat aku menengok kekanan dan kekiri untuk salam kulihat jamaah subuh sudah bertambah begitu banyak dan semuanya mengenakan pakaian putih. Mushala sekolah yang hanya bisa menampung jamaah kurang lebih seratus orang kini telah berubah menjadi sebesar mesjid, bahkan lebih besar dari masjid agung dikotaku.

Selesai itu aku berbalik, untuk meminta seorang dari mereka berempat untuk berdoa, mereka kembalikan padaku untuk berdoa. Lagi – lagi aku terkejut, ketika aku berdoa, aku berdoa tak seperti biasanya aku berdoa. Begitu panjang dan sampai aku meneteskan air mata semua jamaah pun ikut meneteskan air mata.

Hal terakhir yang mereka minta adalah memberikan khutbah singkat untuk mereka, lagi – lagi aku tak bisa menolak. Kuambil buku fadhilah amal dari atas mimbar dan membacakan sebuah kisah Rasulullah.mereka tertunduk mendengarkan bacaan ku.

Kututup kembali buku fadhilah amal dan berdiri diikuti oleh semua jamaah. Mereka besalam salaman satu sama lain sambil berpelukkan akupun bersalaman dengan mereka sama seperti yang mereka lakukan hampir semua jamaah shalat subuh yang begitu banyak, kusalami semuanya. Selesai dengan itu, aku memohon untuk pamit untuk kembali ke rumah. Saat aku akan membuka gamis yang tadi diberikan, mereka mencegah sambil berkata, “sahabat, baju ini kami berikan padamu, bukankah kau telah mengimpikan untuk memiliki baju ini”. Berkali – kali aku mengucapkan terima kasih sambil menyalami tangan mereka yang halus. Tak kusadari, aku meneteskan air mata. Segera aku pamit sambil mengucapkan Assalamu alaikum, dibalas salamku dengan suara semua jamaah secara bersamaan hingga suara mereka seperti menggema. Ke empat orang yang pertama kali kutemui di mushala tadi mengantarkanku sampai diteras. Aku berjalan menyusuri jalan yang tadi kulalui. Hatiku berkecamuk penuh tanya tentang semua kejadian yang baru saja ku alami tadi. Rasa penasaranku membuat aku harus menoleh lagi kebelakang, kearah mushala, saat aku menoleh untuk melihat kembali ke mushala, kudapati suasana yang tadinya terang benderang tidak ada lagi. Kegelapan menyelimuti tempat itu. aku kembali mempercepat langkahku. Sedang baju gamis yang ku kenakan tak kupakai lagi aku kembali mengenakan baju shalat andalanku. Sementara itu, hari masih penuh dengan kegelapan dan dingin yang menusuk.

Jalan yang sama kulalui saat berangkat tadi masih sepi. Aku terus mempercepat langkah, tinggal lima puluh kilometer lagi aku akan sampai di rumahku. Sepi terlalu erat membungkus pagi ini. Memasuki haaman rumahku, keadaannya sama seperti saat kutinggalkan tadi, masih sepi. Tak biasanya pagi ini mereka para penghuni rumah belum bangun. Aku masuk kedalam rumah, dan langsung menuju kamarku, kulihat tubuh yang menjadi tempat tinggalku tetap dalam posisi terlentang. Aku masuki tubuh tempat tinggalku dan kembali aku dan tubuhku menyatu menjadi “kami”.

***

Disekolah, pengalaman itu kami ceritakan kepada seorang teman yang sudah hampir sebulan lamanya menjadi sahabat karib, sejak dia mengajak kami untuk mengikuti salah satu kelompok jamaah, dimana sala satu kegiatan mereka adalah dengan pergi berkunjung ke mesjid lainatau dalam istilah yang kami dengar disebut “keluar”. Dalam kegiatan untuk “keluar” ini punya waktu yang ditetapkan ada 3 hari, bisa 3 bulan ataupun 3 tahun. Kami, pernah mengikuti kegiatan ini hanya sehari saja itupun mengambil waktu hari sabtu dan selesinya hari minggu.

Pukul delapan lebih 30 menit pelajaran pertama dimulai, kami, dan teman kami, namanya Buyung. Duduk di deretan meja paling belakang agar bisa bercerita tanpa diketahui oleh si pengajar. Saat kami menceritakan kejadian itu, dia begitu senang sambil berkata, “mimpi semacam itu yang selama ini aku idam – idamkan”. Tapi bagi kami, itu sesuatu yang amat ganjil rasanya. Sampai – sampai, buyung menanyakan amalan apa yang kami lakukan. Untuk urusan amalan, kami berpikir lagi amalan apa yang kami lakukan sehingga mendapat pengalaman mimpi seperti itu yang justru menjadi impian teman kami, Buyung. “kau tahu”, Buyung mulai lagi bercerita. ‘kau sholat dengan semua sahabat – sahabat nabi, itu harus kau ingat selalu”. Buyung menyimpulkan cerita kami, yang bagi kami, itu hanyalah bunga tidur saja. Dia kembali membantah. “tidak, kawan” itu bukan sekedar bunga tidur. Itu rahmat dari – Nya. Pembicaraan kami dan Buyung terhenti karna si pengajar menegur kami dengan lemparan kapur dan tepat mengenai jidat Buyung. Kami, langsung pindah ketempat duduk kami masing – masing.

Sampai sekarang, kejadian itu terus teringat dalam memori, apalagi setelah kejadian aneh itu menyusul pula kejadian aneh lainnya namun itu tidak berlangsung saat subuh tapi pada saat sholat Dhuhur.