Senin, 15 Juni 2009

DARI MASAKAN KE IDENTITAS

Setiap daerah yang ada di nusantara ini pasti memiliki berbagai macam masakan khas daerahnya masing – masing. Dari sini saya kemudian teringat sebuah lagu anak – anak dimana bercerita tentang masakan khas daerah yang dipopulerkan oleh seorang penyanyi cilik yakni Enno Lerian. Dalam lagu ini, diceritakan bahwa apabila ingin merasakan masakan khas ( dimana dalam lagu tersebut disebut sebuah daerah bernama Padang ) kita tidak perlu bersusah payah untuk pergi ketempat asal masakan tersebut tapi kita bisa mencicipi masakan khas tersebut di daerah kita sendiri. Misalnya soal masakan Padang tadi yang kini bisa saja dijumpai di setiap kota.
Saat ini, kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana sajian kuliner yang ditawarkan menggandeng nama asal sebagai tempat awal dia lahir di awal pembuka tadi saya sudah memberikan satu contohnya dari sekian banyak sajian kuliner yang ada. Ini menjadikan bahwa sebuah masakan tidak hadir sebagai sesuatu yang berdiri sendiri akan tetapi ada bentuk yang lain yang mengikutinya. Sesuatu yang lain terbawa dalam sebuah masakan adalah asal makanan tersebut.
Begitupun yang menjadi masakan khas kita di daerah ini, kita begitu akrab dengan sebuah masakan bernama tinutuan. Masakan yang tediri dari campuran sayuran ini sudah sangat akrab ditelinga dan tenggorokan kita masing – masing. Setiap dari kita pernah mencicipinya dan itu tidak hanya sekali atau dua kali saja. Sampai – sampai nama masakan ini pun menjadi sebuah slogan bagi kota Manado dengan kalimat “Manado Kota Tinutuan”. Nama masakan ini pun sepanjang pengamatan saya selain disebut tinutuan juga disebut midal, dan saya tak tahu nama masakan ini dalam bahasa daerah Minahasa.
Dalam perkembangannya tinutuan ternyata tidak hanya ada di daerah sekitaran Manado dan Minahasa saja, tetapi merambah sampai di seantero pulau Sulawesi Utara termasuk Gorontalo ( daerah ini sudah terpisah dari Provinsi induknya dahulu; SULUT ). Tak ada sejarah yang bisa saya temukan ( karena baru sekarang ini saya mencoba untuk mencermati perjalanan masakan ini ) untuk memberikan sebuah gambaran jelas ketika tinutuan ini menjadi sebuah masakan khas daerah ini.
Untuk itulah melalui tulisan singkat ini saya mencoba untuk menggambarkan saja sebuah rentang jalan seorang penikmat tinutuan yang ingin mengetahui seluk beluk atau asal mula kelahiran masakan ini. Pandangan ini, lahir ketika saya membaca sebuah buku dimana disitu menjelaskan sebuah masakan dari benua asia lainnya bernama India. Dimana terdapat sebuah masakan bernama Kari yang kini telah tersebar hampir keseluruh belahan dunia. Dari sinilah timbul keinginan saya untuk menuliskan sedikit saja sekaligus menjadi awal penulusuran saya terhadap masakan khas daratan pulau Sulawesi bagian utara ini.
Kembali ke soal masakan, sebuah masakan kiranya juga bisa menjadi bagian dari sebuah produk kebudayaan. Ketika tinutuan hadir sebagai sebuah masakan khas dari sebuah daerah sebutlah itu Manado maka ada sesuatu yang dibawanya, ketika dia harus melanglang buana, apakah itu !? sesuatu yang dibawanya adalah nama daerah asalnya tentu saja dan sebuah perkenalan antara dua bentuk kebudayaan misalnya ketika seseorang datang dengan sebuah masakan bernama tinutuan kepada orang di sebuah daerah katakanlah Gorontalo maka masing – masing orang dari dua daerah itu akan saling tukar menukar “informasi” seputar masakan khas dari daerahnya masing – masing. Orang Gorontalo akan mencicipi maskan bernama tinutuan begitupun orang yang datang dari Manado akan pula mencicipi masakan khas dari Gorontalo, sebutlah masakan khas Gorontalo adalah milu siram atau dalam bahasa daerahnya binthe biluhuta. Begitupun seterusnya sebuah bentuk persilangan budaya dari sebuah masakan terjadi. Dan yang terutama adalah tentang sebuah identitas.
Dari hasil persilangan budaya tersebut kita bisa melihat bahwa tidak hanya orang – orang dari sekitaran Manado saja yang bisa membuat tinutuan tetapi tinutuan juga bisa dibuat oleh orang dari daerah lain begitupun sebaliknya yang terjadi kepada masakan milu siram. Dan ini mungkin berlaku juga terhadap semua bentuk masakan yang bertemu.
Contoh diatas juga sampai sekarang bisa kita lihat, bagaimana kemudian milu siram bisa kita nikmati di Manado ini begitupun tinutuan bisa juga di nikmati oleh orang di Gorontalo sana, bahkan bisa menjalajahi lautan sampai di kepulauan Sangihe, Talaud dan sekitarnya. Meski dalam kenyataan kebanyakan yang mengkonsumsinya hanyalah sebatas mengkonsumsi semata tanpa mempertanyakan sejarah makanan bernama tinutuan maupun milu siram ini. Tapi saya tidak ingin menyalahkan para penikmat tersebut, itu adalah hak mereka. Makanan ini bisa menjadi bagian yang tak terpisah dari kehidupan mereka itupun sudah cukup untuk disyukuri.
Memang tidak banyak yang bisa saya ungkapkan lewat tulisan sederhana ini selain sebuah perjalan pendek sebuah masakan yang bertemu dengan masakan lainnya dengan membawa serta sebuah identitas lokal dari masakan ini maupun dari sang pembawa masakan ini. selain itu juga proses akulturasi budaya ternyata bisa juga terjadi lewat sebuah masakan. Tidak hanya masakan dalam bentuk makanan saja. Dalam bentuk minuman pun itu terjadi. Bagaimana kemudian minuman bernama saraba bisa kita nikmati disini tanpa harus ke Makassar sana yang sering disebut – sebut sebagai tanah kelahirannya. Mudah – mudahan di kesempatan lainnya saya bisa melengkapi tulisan singkat ini dengan data – data sejarah tentang masakan baik itu tinutuan dan milu siram maupun masakan yang ada dari daratan Sulawesi bagian utara ini berikut dengan pola persebarannya. semoga saja.
Manado, 15 – 05 – 2005

DEMAM NEOLIBERAL

Keputusan SBY memilih calon pendampingnya dari golongan non partai, membuat semua kalangan seperti kebakaran jenggot saja. Jika merunut kebelakang sebelum penyelenggaraan pemilu sampai pada pasca pemilu dan kini memasuki masa penantian untuk digelarnya kembali pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, gonjang – ganjing penentuan calon pendamping SBY sangat memberatkan Hidayat Nur Wahid sebagai calon kuat untuk menduduki singgasana wakil presiden mendampingi SBY. Namun semua gonjang – ganjing serta harapan koalisi partai itu harus di kubur dalam – dalam ketika SBY mengambil langkah kontroversial dengan memilih Boediono sebagai calon pendamping untuk duduk sebagai wakil presiden.

Kenapa harus Boediono ? inilah yang menjadi pertanyaan berbagai kalangan termasuk partai – partai yang berkoalisi dengan Demokrat. Pertanyaan ini tak akan lengkap terjawab dalam tulisan ini. Jatuhnya pilihan kepada Boediono menimbulkan kontra yang cukup hebat baik dari kalangan partai yang berkoalisi maupun dari mahasiswa. Tuduhan demi tuduhan yang dialamatkan kepada Boediono sebagai agen IMF pengusung paham neoliberalisme begitu sangat kuat mencuat kepermukaan bahkan merembes sampai di tingkatan dunia maya khususnya facebook yang lagi trend saat ini.

Perpisahan pasangan SBY – JK menjadi sebuah awal perseteruan diam – diam antara dua pimpinan partai besar ini yang sejak awal kepemimpinannya sering disoroti sebagai pasangan yang kurang akur, meski pandangan dari para pengamat politik itu pernah dibantah sendiri oleh kedua belah pihak. Dengan kehilangan seorang pakar ekonomi inilah SBY saya kira merasa perlu untuk mencari pasangan lain dengan latar belakang seorang ekonom sebagai penyeimbang dirinya yang adalah seorang politisi dan juga sebagai penasehat bagi dirinya dalam urusan – urusan ekonomi dalam negeri. Saya kemudian melihat kedua pasangan SBY - JK ini sebagai sebuah reinkarnasi pasangan Soekarno – Hatta yang pertama dan dimana reinkarnasi keduanya adalah pasangan SBY – Boediono ( itupun kalau terpilih nantinya ).

Kembali ke soal polemik penunjukkan Boediono sebagai calon wakil presiden yang menuai kontra dari kalangan partai yang berkoalisi bersama demokrat maupun dari mahasiswa. Jika melihat keadaan ini justru ini sangat berat sebelah dalam artian bahwa pasangan Mega – Prabowo dan juga pasangan JK – Wiranto seakan mendapat pembelaan secara tidak langsung padahal baik Prabowo maupun Wiranto bukanlah orang – orang yang bersih jika para pemrotes itu mau sedikit saja membuka mata mereka. Prabowo dengan kasus penculikan aktivis tahun 1998 harus di hapus dari ingatan semua orang apalagi para orang tua yang anaknya di culik atau para organisasi – organisasi mahasiswa maupun LSM yang selalu mengkoar – koarkan pengusutan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia harus diam saja.

Saya bukan hendak membela salah satu pihak dari ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden ini akan tetapi saya ingin sekedar saja mengajak kita untuk membuka pikiran bahwa dengan usaha – usaha penolakan terhadap Boediono sebagai calon wapres pendamping SBY dengan mengatakan bahwa Boediono sebagai agen IMF penganut paham neoliberalisme. Padahal para calon wapres lainnya pun juga mempunyai track record yang tidak kalah hitamnya apabila dengan menjadi seorang penganut paham neoliberalisme sebagai seseorang dari kalangan hitam. Apalagi sebuah anekdot yang dilontarkan oleh salah satu partai untuk menjatuhkan pamor pasangan SBY – Boediono dengan mengangkat isu jilbab. Sungguh sangat memalukan sekali tapi lagi – lagi kita harus kembali pada kata ya..beginilah politik. Meski mengandung kelucuan tapi inilah keadaan politik kita.

Protes berat sebelah yang berujung pada sebuah anekdot isu jilbab menjadi penanda sebuah ketidakmampuan mereka dalam mengatasi manuver politik SBY. Tuduhan – tuduhan sebagai antek – antek IMF pengusung paham neoliberalisme yang dialamatkan tanpa alasan jelas kepada Boediono pun menjadi sebuah angin lalu saja dan malah dari sini saya menaruh sebuah kecurigaan penuh bisa saja para pendemo itu dalam melakukan aksinya adalah hasil suruhan dari para senior – seniornya saja yang terlibat dalam partai di luar partai yang berkoalisi dengan Demokrat maupun pihak yang tergabung dalam koalisi bersama SBY dengan demokratnya. Ini baru kecurigaan saya saja mudah – mudahan itu tidak sepenuhnya benar.

Saya kira, ada beberapa hal yang bisa saya masukkan sebagai bahan pertimbangan sebelum koar – koar anti neoliberalisme dilanjutkan; Yang pertama, apakah anda – anda yang mengkobarkan semangat anti neoliberalisme tahu dan paham bagaimana sejarah negara ini terlilit hutang !? Yang kedua, apakah kita sekarang ini benar - benar bebas dari cengkeraman neoliberalisme !? Yang ketiga, apakah ada jaminan kita terbebas dari jeratan neoliberalisme seandainya saja SBY tidak memilih Boediono sebagai wapresnya !? yang keempat, apakah hanya karena Boediono selaku tertuduh sebagai agen IMF ( kalaupun benar ) lantas kita melupakan keterlibatan Prabowo pada kasus Mei 1998 dan Wiranto di Timor Leste !? Yang kelima, bukankah dari ketiga calon presiden dan wapres ini menunjukkan sebuah pola hubungan sipil militer dan juga menjadi awal kebangkitan kekuasaan militer di negara ini setelah SBY dinilai gagal oleh para petinggi – petinggi militer lainnya dimana adalah senior – seniornya !?
Silahkan anda pertanyakan itu kepada diri sendiri atau menjadi bahan diskusi di sarang – sarang organisasi anda masing - masing, sebagai pengkoar semangat anti neoliberalisme yang menuduh Boediono sebagai agen IMF padahal masih ada Sri Mulyani yang juga pernah menjadi wakil IMF untuk Indonesia untuk kemudian di masa pemerintahan SBY – JK sebelumnya menjabat sebagai menteri di kabinet SBY – JK, apakah ini hanya sekedar ajang permainan para aktivis baik itu dari kalangan partai atau organisasi mahasiswa, oleh sebab sudah kehilangan taringnya untuk memaksa menggigit daging tanpa mengedepankan akal. Sehingga dalam merumuskan isu pun terlalu sembrono dan asal – asalan saja. Pilihan ada di tangan anda sekalian tetapi yang harus di ingat, kita semua kiranya harus mengakhiri bentuk berpikir yang selalu menyatakan; memilih yang baik diantara yang buruk. Selamat menentukan pilihan semoga pada harinya nanti keadaan akan tetap aman dan terkendali.

Rabu, 03 Juni 2009

SEBAB AKU INGIN………

Lahir ditanah ini membuat aku menyimpan begitu banyak keinginan menjadikan aku rindu untuk mengetahui semua hal baik yang nampak maupun yang tidak nampak oleh mata. Kepergianku dari tanah ini saat umurku masih begitu sedikit membuat aku harus berpisah dengan semua hal tentang tanah ini. Tanah dimana didalamnya menjadi penyimpan sebagian dari tubuhku saat pertama kali ke dunia.

Hanya ada beberapa kenangan saja yang tersimpan di memori otakku yang harus ku akui sampai sekarang dan hanya aku sendiri yang tahu akan kapasitas memori otakku, orang tuaku sendiri pun tak tahu bahwa anaknya yang pertama ini mempunyai kapasitas memori di atas rata – rata. Sampai sekarang aku masih bisa mengingat tempatku sekolah yang kala itu masih ditaman kanak – kanak. Aku sempat menjadi saksi sebuah monument didirikan, monument untuk mengenang seorang pejuang daerah yang tak pernah ku baca secara detil sepak terjangnya di kancah perjuangan kemerdekaan. Seorang pejuang yang bagiku pantas disandingkan dengan semua pahlawan dari daerah – daerah lain.

Sembilan tahun lamanya aku berpisah dengan tanah ini, meski sesekali aku berkunjung jika datang masa liburan sekolah hanya satu permintaanku, pulang ke tanah kelahiranku meski keinginanku itu harus berupa mimpi – mimpi saja tapi apabila datang waktunya mimpi – mimpi itu diwujudkan bukan main gembira rasa hatiku dan lagi – lagi aku harus memendam semua kegembiraan rapat – rapat dalam hatiku sebab aku tak ingin terlalu mengumbar kegembiraanku biarlah itu kurasakan sendiri sebagai sebuah kemenangan kecil terwujudnya mimpi – mimpi panjang ku.
Mungkin saja kalian yang membaca kesaksian ini tak akan pernah percaya akan semua cerita – cerita yang kusampaikan ini, tapi inilah sebuah kebenaran lama yang begitu rapat terkunci dalam hatiku selama bertahun – tahun. Aku hanya bisa menuliskan semua kesaksianku.

Sembilan tahun lamanya aku hidup di sebuah tanah di seberang lautan, sampai – sampai aku mengerti bahasa daerahnya bahkan aku pernah ambil bagian ketika sekolahku ingin mengutus perwakilan dalam sebuah perhelatan akbar dalam rangka perayaan hari kemerdekaan. Aku dan beberapa orang temanku yang saat itu masih di bangku sekolah dasar diutus untuk ambil bagian dalam sebuah rangkaian acara yang akan di gelar dalam perhelatan akbar itu. Kami akan membawakan tarian daerah bernama Alabadiri secara massal jadi setiap sekolah mengirimkan sepuluh orang perwakilannya. Ini menjadi sebuah pengalaman yang membuat aku harus menambah lagi dalam daftar catatan mimpiku jika kelak aku pulang ke tanahku. Catatan tentang keinginanku untuk bisa menarikan satu tarian daerah dari tanahku sendiri. ……………..