Selasa, 13 Agustus 2013

KHUTBAH IDUL FITRI 1434 H (Sebuah Kesan)

Lelaki muda dengan postur tubuh agak kurus itu menaiki mimbar. Dialah yang kali ini menjadi khatib di shalat idul fitri yang dilaksanakan di masjid dikompleks perumahan Kaputi Indah. 

Sebagaimana khutbah pada umumnya, penggambaran suasana idul fitri menjadi ciri khas pada setiap pembukaan khutbah sesudah mengucapkan takbir dan membacakan ayat – ayat Al Qur’an. Namun ada yang menjadi sesuatu yang baru kali ini. Sang khatib tidak menyertakan kalimat – kalimat yang membuat suasana hati para jamaah mengharu biru bahkan kemudian bisa sampai berlanjut dengan termehek – mehek. Sampai akhir khutbah pun kalimat – kalimat pengharu biru suasana tetap tak tersentuh.

Sepertinya sang khatib langsung menohok pada topik mengenai keutamaan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi orang – orang yang bertakwa. Suasana hambar tercipta seketika dan saya pun merasakan kehambaran suasana ini. Sepertinya sang khatib ingin menyampaikan sesuatu yang lebih utama dari sekedar mengharu birukan suasana. Masalah rasa kehilangan orang – orang yang dicintai jangan sampai membuat kita terhanyut dan  untuk kemudian menyesali kepergiaan mereka sehingga menjadi lupa bahwa ada tugas yang lebih penting bagi kita selagi kita belum dipanggil oleh sang penguasa seluruh jagad, ALLAH SWT. 

Suara “ehem” layakanya orang yang tengggorokannya gatal terdengar silih berganti. Memang bisa disangsikan juga kalau suara itu adalah suara kebosanan karena khutbah namun melihat dari pola tingkah jamaah yang bisa saya perhatikan, sepertinya ingin mengatakan “hei kami bosan dengan isi khutbahmu” atau “bisakah kau ganti topik khutbahmu!!” namun semuanya terganti dengan suara “ehem” saja sebagai sebuah sikap alternatif dari jamaah mengingat bahwa mereka (termasuk saya tentunya) sedang berada di masjid tentunya juga karena dalam nuansa hari raya idul fitri. 
Cukup lama juga bagi saya untuk mencoba mencerna maksud sang khatib mengangkat topik  tentang keutamaan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa pada khutbah shalat Ied kali ini. Rasa bosan dan hambar pun mendera saya. Untuk mengobati kehambaran perasaan saya sendiri saya terus memaksakan diri untuk keluar dari perasaan hambar dan bosan agar bisa mendapat sedikit sudut meski sempit untuk mengambil secuil pengertian dari khutbah idul fitri kali ini. Setiba di rumah barulah saya bisa mengambil sedikit pengertian, itupun dengan menambah sedikit energi berfikir saya dan pengertian yang saya dapatkan tentunya bukan sebuah pengertian dari maksud sang khatib dalam isi khutbahnya tapi sebuah pengertian yang lain tentang apa yang saya sebut sebagai “kebiasaan umum”.

Ya... selama ini saya sering mendengar dan juga menyaksikan bagaimana para khatib senantiasa membangun suasana mengharu biru dengan mengatakan tentang keadaan saudara – saudara kita yang tidak bisa atau tidak ada lagi bersama kita baik itu bersama menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan sampai merayakan idul fitri. Sepertinya ini menjadi sebuah metode jitu untuk membangun antusiasme jamaah untuk serius mendengarkan khutbah sampai selesai. Apalagi kalau sang khatib mengatakannya dengan suara yang serak seperti sedang menahan tangis tentu akan menjadi sebuah nilai plus bagi jamaah. Sudah barang tentu jamaah shalat ied akan ikut merasakan keharuan secara berjamaah pula bahkan bila perlu ada yang ingin menangis sampai tak sadarkan diri layaknya gaya para fans fanatik sebuah grup band seperti yang seringkali kita saksikan. 

Dan pada hari ini. Di hari raya idul fitri 1434 H di hadapan jamaah shalat ied. Seorang lelaki muda menjungkirbalikkan metode jitu tersebut dimana selama ini telah menjadi sebuah “kebiasaan umum”. Meski dengan suara “ehem” yang bersahut – sahutan dari para jamaah shalat ied. Bahkan sepulang dari shalat Ied, ayah saya pun mengatakan ketidak puasannya atas khutbah idul fitri tersebut.
Walaupun sempat merasakan kehambaran itu namun disatu sisi saya salut dengan sang khatib tersebut, selain berhasil menjungkirbalikkan “kebiasaan umum”, sang khatib juga telah  memberi pengertian tersendiri bagi saya pribadi. Terima kasih buat sang khatib.


 Gorontalo, 8 Agustus 2013
1 Syawal 1434 H