Selasa, 13 Agustus 2013

KHUTBAH IDUL FITRI 1434 H (Sebuah Kesan)

Lelaki muda dengan postur tubuh agak kurus itu menaiki mimbar. Dialah yang kali ini menjadi khatib di shalat idul fitri yang dilaksanakan di masjid dikompleks perumahan Kaputi Indah. 

Sebagaimana khutbah pada umumnya, penggambaran suasana idul fitri menjadi ciri khas pada setiap pembukaan khutbah sesudah mengucapkan takbir dan membacakan ayat – ayat Al Qur’an. Namun ada yang menjadi sesuatu yang baru kali ini. Sang khatib tidak menyertakan kalimat – kalimat yang membuat suasana hati para jamaah mengharu biru bahkan kemudian bisa sampai berlanjut dengan termehek – mehek. Sampai akhir khutbah pun kalimat – kalimat pengharu biru suasana tetap tak tersentuh.

Sepertinya sang khatib langsung menohok pada topik mengenai keutamaan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi orang – orang yang bertakwa. Suasana hambar tercipta seketika dan saya pun merasakan kehambaran suasana ini. Sepertinya sang khatib ingin menyampaikan sesuatu yang lebih utama dari sekedar mengharu birukan suasana. Masalah rasa kehilangan orang – orang yang dicintai jangan sampai membuat kita terhanyut dan  untuk kemudian menyesali kepergiaan mereka sehingga menjadi lupa bahwa ada tugas yang lebih penting bagi kita selagi kita belum dipanggil oleh sang penguasa seluruh jagad, ALLAH SWT. 

Suara “ehem” layakanya orang yang tengggorokannya gatal terdengar silih berganti. Memang bisa disangsikan juga kalau suara itu adalah suara kebosanan karena khutbah namun melihat dari pola tingkah jamaah yang bisa saya perhatikan, sepertinya ingin mengatakan “hei kami bosan dengan isi khutbahmu” atau “bisakah kau ganti topik khutbahmu!!” namun semuanya terganti dengan suara “ehem” saja sebagai sebuah sikap alternatif dari jamaah mengingat bahwa mereka (termasuk saya tentunya) sedang berada di masjid tentunya juga karena dalam nuansa hari raya idul fitri. 
Cukup lama juga bagi saya untuk mencoba mencerna maksud sang khatib mengangkat topik  tentang keutamaan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa pada khutbah shalat Ied kali ini. Rasa bosan dan hambar pun mendera saya. Untuk mengobati kehambaran perasaan saya sendiri saya terus memaksakan diri untuk keluar dari perasaan hambar dan bosan agar bisa mendapat sedikit sudut meski sempit untuk mengambil secuil pengertian dari khutbah idul fitri kali ini. Setiba di rumah barulah saya bisa mengambil sedikit pengertian, itupun dengan menambah sedikit energi berfikir saya dan pengertian yang saya dapatkan tentunya bukan sebuah pengertian dari maksud sang khatib dalam isi khutbahnya tapi sebuah pengertian yang lain tentang apa yang saya sebut sebagai “kebiasaan umum”.

Ya... selama ini saya sering mendengar dan juga menyaksikan bagaimana para khatib senantiasa membangun suasana mengharu biru dengan mengatakan tentang keadaan saudara – saudara kita yang tidak bisa atau tidak ada lagi bersama kita baik itu bersama menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan sampai merayakan idul fitri. Sepertinya ini menjadi sebuah metode jitu untuk membangun antusiasme jamaah untuk serius mendengarkan khutbah sampai selesai. Apalagi kalau sang khatib mengatakannya dengan suara yang serak seperti sedang menahan tangis tentu akan menjadi sebuah nilai plus bagi jamaah. Sudah barang tentu jamaah shalat ied akan ikut merasakan keharuan secara berjamaah pula bahkan bila perlu ada yang ingin menangis sampai tak sadarkan diri layaknya gaya para fans fanatik sebuah grup band seperti yang seringkali kita saksikan. 

Dan pada hari ini. Di hari raya idul fitri 1434 H di hadapan jamaah shalat ied. Seorang lelaki muda menjungkirbalikkan metode jitu tersebut dimana selama ini telah menjadi sebuah “kebiasaan umum”. Meski dengan suara “ehem” yang bersahut – sahutan dari para jamaah shalat ied. Bahkan sepulang dari shalat Ied, ayah saya pun mengatakan ketidak puasannya atas khutbah idul fitri tersebut.
Walaupun sempat merasakan kehambaran itu namun disatu sisi saya salut dengan sang khatib tersebut, selain berhasil menjungkirbalikkan “kebiasaan umum”, sang khatib juga telah  memberi pengertian tersendiri bagi saya pribadi. Terima kasih buat sang khatib.


 Gorontalo, 8 Agustus 2013
1 Syawal 1434 H

Kamis, 09 Agustus 2012

SEBAB AKU BUKAN SARJANA

Stop... Jangan Cintai mereka karena kau bukan sarjana, begitulah kalimat yang selalu aku katakan kepada diriku sendiri bila aku merasakan aku menyukai seorang perempuan.
 

Sama seperti yang selalu aku katakan kepada mereka yang bertanya soal aku. status sebagai seorang yang bukan sarjana menjadi jawaban pertanyaan mereka. ada yang langsung menjawab "oooo" saja ada pula yang langsung bersikap seolah menjadi penguasa seluruh alam. bercerita penuh kesombongan dan aku... hanya tersenyum saja melihatnya. iya, wajahku memang terlihat tersenyum tapi dalam hatiku. aku ingin sekali menggamparnya.


Status ketidak sarjanaanku ini juga menjadi penanda batas buatku dengan keluargaku. Semua yang kubicarakan tak ada artinya buat kedua orang tuaku sebabnya ya itu tadi aku bukan sarjana dan berarti aku sudah menghempaskan mimpi mereka tentang aku. 

Dari sinilah aku berfikir dan bertanya,  bukankah aku kuliah atas kemauanku sendiri? atau ini ada hubungannya dengan biaya yang mereka keluarkan untukku saat aku kuliah tapi ternyata putus ditengah jalan?    

Sampai pernah terlintas untuk pergi saja meninggalkan orang tuaku alias minggat. Sebab dirumah ini aku seperti seorang yang paling bodoh dan tak bisa menggunakan otaknya untuk berfikir. Pernah juga aku berfikir untuk bunuh diri sampai - sampai aku menyimpan sebuah pisau lipat di kamarku. Bila ada sempat, aku "bermain - main" dengan pisau lipat itu.


Stop.... Jangan Cintai Aku. Pernah seorang perempuan "ingin" membagi rasa cintanya denganku namun semua harus kutepis bukan  karena aku tak mau bersyukur dengan itu namun ini mengenai pernyataannya "masa' penghasilan isteri lebih besar dari pada penghasilan suami" pernyataannya ini keluar saat kami berbicara soal kerja kami masing - masing. Aku memilih kerja yang biasa - biasa saja dengan penghasilan yang cukup, meski kerja yang kupilih itu masih dalam bentuk impian. Sedang dia saat itu sudah bekerja dan penghasilannya pun bisa dikatakan besar. Maka keluarlah pernyataan itu. Langsung saja kuputus sambungan telpon dan memaki - maki. Untung saja hubungan kami tidak berlanjut.Syukurlah


Stop.... Jangan Cintai Aku. Dan jangan pula mengasihani aku. hahahahaha..........

Dengan statusku ini aku sudah belajar untuk lebih jeli lagi menilai orang. Mana yang benar - benar ingin berteman dan menyukaiku tanpa perduli dengan apakah aku sarjana atau bukan dan mana yang hanya pura - pura saja. Aku pun juga belajar untuk tidak meremehkan orang lain. Siapa pun dia.

 

Urusan status ketidak sarjanaanku perlahan - lahan tak lagi kupikirkan. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana menghidupi diriku sendiri dengan menulis. Meski tulisanku tak pernah sekalipun dimuat di beberpa media yang pernah kukirimi tulisanku. tapi tetap ku Syukuri. Sebab aku bisa menulis dan memiliki buku bacaan yang lumayan banyak. 

 

Stop....Jangan Cintai Aku, sebab aku bukan sarjana.Bila kesarjanaanku lebih penting daripada cintaku kepadamu. Atau kesarjanaanmu lebih penting dari Cintaku. 

 





Minggu, 15 Juli 2012

PURNAMA TERBELAH


Sungguh aku tak tahu apa yang terjadi semalam. Sebuah kejadian diluar akal sehatku, bila saat itu pun aku benar – benar sepenuhnya berada di alam sadarku bukan hasil gambaran alam bawah sadarku yang tengah bermain atau lebih tepatnya mempermainkan aku.

Sabtu malam tanggal 14 Juli 2012,
Saat itu aku melihat purnama terbelah menjadi dua. Terpisah, benar – benar terpisah. Sebagian menghilang dan sebagian lagi tetap berada ditempatnya sebagaimana kedudukan awalnya ketika masih utuh. Sebagian yang menghilang itu seperti mundur untuk kemudian berlindung pada sebagian lagi yang masih tetap pada kedukukannya semula sebagaimana saat masih utuh.

Perlahan – lahan, bagian yang satu itu menghilang berlindung dibalik sebagian yang lain. Padaku tak ada tanya, hanya mulutku yang ternganga. Padaku tak ada benci, hanya hati yang mulai mencintai. Entah kepada sebagian yang tetap pada kedudukannya sebelum dia terbelah atau pada sebagian yang perlahan mundur dan bersembunyi di balik sebagian yang tetap di kedudukannya itu. Namun yang pasti aku jatuh cinta tapi aku sungguh tak tahu pada penggalan yang mana.

Bintang – bintang begitu banyak tapi seperti tak mengacuhkan kejadian itu. Mereka asyik bercanda. Mereka asyik bernyanyi seakan purnama yang terbelah hanyalah kejadian yang biasa saja bagi mereka.

Penggalan purnama yang masih tetap berada pada kedudukannya semula sebagaimana dia belum terpisah, tersenyum melihat kebingunganku. Sementara sebagian dari dirinya yang kini bersembunyi, mengintip memandangiku tanpa ekspresi apa – apa.
Sekali lagi aku katakan, aku jatuh cinta tapi entah pada penggalan yang mana? Aku tak mungkin menyatukan keduanya karena sedikit pun aku tak punya kekuatan apa – apa agar mereka bisa kembali bersama, kembali utuh seperti sebelumnya. Penggalan yang tersembunyi kini hanya seperti bayang – bayang terbalik dari penggalan yang masih tetap berada pada kedudukannya semula, saat mereka masih utuh. 

Dan jujur kukatakan, 
Aku Jatuh Cinta……Lagi.                                                                                                                                                                                                                   15 Juli 2012
           

Rabu, 23 Mei 2012

BUNTU

kalau tidak dipaksakan, kita tidak akan pernah bisa melakukannya apalagi mengenai sesuatu yang sudah pernah dilakukan dan ini bisa saja terjadi pada setiap orang dimana ada saatnya seseorang mendapatkan dirinya tidak bisa melakukan sebuah pekerjaan padahal pekerjaan itu sudah dilakoninya disepanjang umurnya.

tak ada pilihan lain untuk terus mencoba dan mencoba melakukannya. toh itu bukan hal yang baru. itu adalah sesuatu yang sudah lama tidak dikerjakan saja tinggal bagaimana kembali membiasakan diri atau dalam kata lain kembali menjalin konektivitas dengan apa yang pernah dikerjakan dan kemudian untuk beberapa saat lamanya ditinggalkan.

sesalan tak berlaku disini. yang ada sekarang tuntutan untuk mengerjakannya. baik atau buruk bukan lagi penilaian namun baaimana kesungguhan untuk menjalaninya. kalau selama ini orang hanya fokus pada hasil akhir itu adalah sesuatu yang tak bisa dijadikan contoh meskipun itu juga bukan sesuatu hal yang bisa dibilang salah.



Sabtu, 14 April 2012

KENAPA HARUS ADA PANCASILA?


Hari lahir pancasila masih jauh untuk diperingati namun tidak ada salahnya bila kita mulai membahasnya mulai dari sekarang. Pembahasan soal Pancasila, dalam tulisan ini lahir dari sebuah pengalaman ketika saya diundang untuk menjadi fasilitator pada kegiatan Latikan Dasar Kepemimpinan yang bertempat di SMAN 1 Bonepantai.
Judul diatas pun, saya ambil dari sebuah pertanyaan dari seorang siswa bernama Rikil Muhammad. Ada dua pertanyaan yang dikemukakannya saat itu. Pertanyaan pertama adalaah, Kenapa harus ada Pancasila ? dan pertanyaan kedua dari siswa tersebut adalah; dalam sila ketiga Pancasila tertulis kalimat “Persatuan Indonesia” namun kenapa harus muncul GAM ( Gerakan Aceh Merdeka) dan Papua Merdeka ?  saya cukup kaget dan begitulah kenyataannya karena pertanyaannya yang begitu sederhana namun butuh sebuah penjelasan yang jelas. Saya hanya berfikir tentang bagaimana menjelaskan dua pertanyaan itu. Untuk pertanyaan pertama, saya bisa saja mengatakan bahwa Pancasila hadir sebagai sebuah dasar dan jati diri bangsa tapi itu masih terus dipertanyakan walaupun pada akhirnya saya memutuskan untuk menjelaskan soal Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia ini. Selanjutnya pertanyaan kedua yang juga msih berhubungan dengan Pancasila khususnya sila ketiga dan kenyataan yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia. Lagi – lagi saya harus berfikir cukup keras untuk mencari jawaban untuk menjelaskan aib negara ini kepada anak – anak SMA dan SMP. Tentu saya juga tidak ingin berkata bahwa Negara ini dalam keadaan baik – baik saja tapi saya harus menmberi penjelasan sederhana se sederhana dan kritisnya pertanyaan siswa SMA ini.

Pertanyaan  selanjutnya datang dari seorang siswa SMP bernama Teguh S. Pratama. Siswa ini bertanya soal “kenapa Di Indonesia masih ada yang miskin dan anak – anak tidak sekolah?”  lagi – lagi pertanyaan yang sederhana namun tidak sesederhana penampilannya. Juga ada pertanyaan lain yang senada dengan pertanyaan dari siswa SMP ini, tentang “Bagaimana cara “menindas” kemiskinan di Indonesia?” awalnya saya terkejut dengan kata “menindas” yang digunakan siswa ini. Sampai saya menemukan sebuah padanan dari kata tersebut yakni “menghilangkan”. Selanjutnya, pertanyaan kembali datang dari seorang siswa SMA yang mempertanyakan keabsahan teori evolusi Darwin tentang manusia berasal dari kera. Sampai pada pertanyaan terakhir yang kembali mempertanyakan soal Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa.
Kegiatan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) yang diselenggarakan oleh para pengurus osis SMAN 1 Bone Pantai, bekerja sama dengan mahasiswa KKLP Universitas Ichsan Gorontalo pada tanggal 11 Februari 2012 menjadi sebuah kegiatan yang bisa memberi sebuah pelajaran berharga. Apalagi ketika mereka bertanya soal Pancasila dan kemiskinan yang terjadi di negara dan bangsa kita ini.  Tentu saja kita tak bisa terus berkata bahwa Pancasila itu tetap menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia kalau pada kenyataannya konsep Bhineka Tunggal Ika masih saja terabaikan. Kemunculan gerapakan – gerakan yang meminta kemerdekaan tidak pula harus dijelaskan sebagai sebuah gerakan untuk merongrong kekuasan Negara. Melainkan sebuah gerakan atau usaha untuk melakukan kritik terhadap pemerintahan Negara yang terlalu banyak bersembunyi dibalik indahnya kata – kata mengenai kesejahteraan dan kemakmuran lewat masuknya modal yang besar dan pada ahirnya berujung pada kesengsaraan rakyat.
             
Tentu saja, semua pertanyaan – pertanyaan yang terlontar dari mereka juga menjadi pertanyaan kita selama ini tentang kelangsungan negara dan bangsa ini. Iklan dan kampanye politik tentang kesejahteraan serta kemakmuran tentu hanya menjadi alat bagi para elit – elit politik untuk merayu massa agar bisa meraup dukungan suara yang banyak. Semakin banyak dukungan yang diberikan maka semakin terbuka luas kesempatan bagi para leit politik itu untuk duduk menikmati indahnya kekuasaan. Lalu, janji kesejahteraan pun perlahan mulai dilupakan dengan berbagai macam alasan dan segala macam perhitungan – perhitungan matematis soal kesejahteraan dan kemakmuran. Bisa kita lihat sendiri buktinya, bagaimana kemudian orang miskin harus perlu dihitung kemiskinannya untuk selanjutnya diberi label sebagai orang miskin agar bisa mendapat keabsahan bahwa dirinya benar – benar orang miskin.
Lalu, kita masih memungkiri bahwa klas – klas dalam system social kemasyarakatan itu tidak ada?  Tentu terlalu munafik untuk mengatakan bahwa klas – klas social tidak pernah ada. Pemberian keabsahan sebagai orang miskin melalui prosedur birokrasi tentu menjadi sebuah bukti nyata bahwa pemerintah negara ini sedang menciptakan sebuah wilayah baru untuk orang miskin. Penggusuran dan relokasi pun menjadi sah untuk dilakukan melalui berbagai macam alasan. Inilah bukti bahwa pemiskinanlah yang harus kita lawan bukan kemiskinan.
Tentu tidak mengherankan apabila, ada yang bertanya soal keberadaan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa ini. Kita tidak mungkin bisa membangkitkan lagi para founding fathers yang sudah bersepakat untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup bangsa dan Negara ini. Dan kalaupun kita bisa membangkitkan mereka semua, apakah kita harus meminta pertanggungjawaban mereka karena sudah terlalu berani mewakili keseluruhan suara penduduk negara ini untuk menetapkan pancasila sebagai dasar serta falsafah bangsa ini ?
                                                                                                    Kaputi Indah, 30 Maret 2012

 

Senin, 09 April 2012

Rabu, 28 Maret 2012

LUKA SAYATAN PERTAMA


Mungkin atau bahkan pastinya, seorang anak kecil akan menangis bila salah satu anggota badannya terluka dan mengeluarkan darah selanjutnya akan disusul dengan kepanikan dari orang tuanya hingga bisa menambah keabsahan bagi si anak untuk lebih mengeraskan suara tangisan. Sebuah pengantar yang buruk bukan? Dari sebuah tulisan pengalaman ketika salah satu jari saya teriris oleh pinggiran kaleng yang tajam.

Ada sebuah kegembiraan ketika ibu jari saya teriris oleh pinggiran kaleng yang tajam itu. Sedikit saya ceritakan bagaimana jari saya bisa samapai teriris oleh pinggiran kaleng walau singkat. Peristiwa itu terjadi pada hari sabtu siang entah pukul berapa, sebenarnya saya ingin menuliskan pukul satu akan tetapi saya merasa tidak berlaku jujur dalam sepenggal tulisan ini dan pastinya anda juga akan menganggap saya mengada – adakan cerita alias menuliskan sebuah pengalaman palsu atau bahkan bisa menuduh saya sebagai seseorang yang suka dengan rasa sakit. Tapi itu terserah anda dengan penilaian anda. Baik, kita lanjutkan lagi ceritanya.

Sabtu siang tanggal 24 maret 2012,  saya baru saja membeli sebuah ikan kaleng dan memang saya ingin memasak lauk hari itu. Kebetulan ibu dan ayah saja tidak ada jadi saya hanya sendiri saja dan sudah bisa dipastikan, tak ada orang yang akan menyiapkan nasi serta lauk jadi untuk itulah saya harus memotivasi diri saya sendiri tanpa harus menunggu untuk diberikan motivasi lewat layar kaca oleh seorang motivator yang terkenal dalam acara berjudul Golden Ways. Jalan keluar untuk mengatasi rasa lapar adalah dengan menanak nasi sendiri dan membeli ikan kaleng. Pilihan untuk membeli ikan kaleng menjadi sebuah pilihan satu – satunya sebagai jalan pintas agar tidak kepasar dan berlama – lama memilih serta bertransaksi baik itu dengan uang dan rasa percaya ketika membeli ikan mentah. Daripada saya harus melakukan dua transaksi tersebut  yang tentunya bisa berujung pada saling memperalat maka ada baiknya saya memilih untuk membeli ikan kaleng saja.

wajan dengan minyak goreng secukupnya sudah dipanaskan. Bumbu dan bahan sudah dipersiapkan nah tinggal membuka kaleng disaat membuka kaleng inilah ketika mengangkat bagian penutup kaleng yang sudah di potong oleh alat yang masih dalam alat modern itulah ibu jari saya teriris. memang cukup susah juga menjelaskan secara detil kronologis peristiwanya tapi begitulah yang terjadi.

Saya bukan tipe manusia yang suka dengan rasa sakit tapi hari itu semuanya menjadi lain oleh sebuah sayatan di ibu jari. Tentu saja ada rasa perih apalagi dengan darah yang keluar walaupun tak terlalu banyak, dan sebuah rasa senang tak terkira. Saya lalu mengingat – ingat dan bertanya kapan terakhir kali saya mendapat  luka dan melihat darah saya sendiri. Jawabannya adalah saya tidak tahu lagi kapan saya mendapatkan luka serta melihat darah saya sendiri keluar dari tubuh saya.  Lupa mungkin atau sudah terhapus dari memori otak saya, entahlah. Tapi yang pasti luka sayatan itu kembali memberi sebuah kesadaran bagi saya bahwa setiap peristiwa sekecil apapun pasti punya pesan dan kesan bagi manusia itu sendiri.

Tentu ada sebuah rasa senang ketika mendapat luka dan melihat darah saya sendiri. Karena saya tidak mengingat lagi kapan pertama kali saya mendapat luka dan kapan terakhir kali saya mendapat luka. Saya merasa seperti sedang mengalami bagaimana rasanya jatuh cinta untuk pertama kali. Semua orang pasti punya cerita yang berbeda – beda ketika merasakan jatuh cinta pada seseorang. Keinginan untuk bertemu sang pujaan hati begitu menggebu – gebu seakan tak mau lagi dipisahkan. Setiap saat ingin selalu berdekatan dan melihat wajah kekasih hati.

Begitupun dengan luka sayatan yang saya dapatkan, saya seperti ingin menambah lagi sayatannya supaya sembuhnya luka itu bisa sedikit lama apalagi kalau luka sayatan itu ditutupi pelester pasti lebih bisa mempertahankan kesenangan saya ketika mendapatkan luka itu. Sekali lagi, saya bukan tipe manusia yang suka dengan rasa perih dan sakit karena luka tapi rasa senang dari sebuah luka sayatan itulah yang membuat saya seperti merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Hampir setiap saat, saya melihat luka sayatan itu. Ketika saya menempelkan plester pun rasanya sungguh tidak tega walhasil plester yang saya gunakan hanya bisa bertahan tak lebih dari sepuluh menit saja.

Cukup susah juga untuk bisa menjelaskan bagaimana rasa senang yang menghinggapi hati saya. Ya seperti ketika merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Saya hanya bisa memberi penggambaran – penggambaran lewat tulisan ini saja tanapa pernah menyentuh inti dari perasaan senang yang saya alami sekarang. Entah apa tanggapan anda tentang rasa senang dari luka sayatan yang saya dapatkan ini. Tapi, tenang saja apapun tanggapan anda saya tetap menghargainya.  
Saya tak tahu lagi bagaimana saya harus meneruskan tulisan ini sebab rasa senang saya begitu mengebu – gebu kekacauan berfikir sedang menimpa saya. Saya ingin berbagi banyak cerita tentang rasa senang ini karena memang begitu banyak yang ingin saya ceritakan. Akan tetapi, saya tak bisa menjelaskannya dengan kata – kata hanya rasa senang saja. Tulisan ini menjadi cukup panjang pun itu karena saya berusaha memaksakan diri untuk menceritakannya. Dan tentu anda bisa menilai bagaimana kekacauan berbahasa yang dihasilkan. Anggaplah tulisan ini sebagai curahan hati dari seseorang yang untuk pertama kalinya mendapat luka sayatan. Saya mengatakan pertama kali mendapat luka sayatan karena saya tidak mengetahui lagi kapan sebenarnya saya mendapat luka sayatan pertama kali disepanjang hidup saya sampai sekarang ini.

Memang pernah terfikir untuk melukai diri sendiri dan merasakan sensasi dari luka itu tapi keberanian untuk melakukannya itu yang tidak saya punyai. Sehingga keinginan untuk melukai diri sendiri harus diurungkan oleh karena ketidakcukupan keberanian. Sampai – sampai saya harus menyimpan sebilah pisau didalam kamar saya.

Tidak ada keinginan untuk bunuh diri, karena bunuh diri, bagi saya adalah sebuah tindakan buat para pecundang apalagi kalau alasannya hanya karena putus cinta atau broken home. Meski dilain tempat, bunuh diri dilakukan untuk mempertahankan harga diri, seperti dalam tradisi samurai di  Jepang yang disebut dengan “Harakiri”.  

Sungguh, saya tak tahu lagi, harus menuliskan apa lagi tentang kesenangan ini. Kalaupun tulisan ini menjadi begitu panjang dan melelahkan untuk dibaca itu semata – mata karena saya ingin memancing keluar semua rasa senang saya agar inti dari perasaan senang mendapatkan luka sayatan ini terbuka.

Oh iya, saya baru ingat. Saya punya sedikit pesan buat anda para pembaca sekalian yang sudah atau akan mempunyai seorang atau dua orang atau bahkan tiga orang anak. Bila nanti, anak anda mendapatkan luka untuk pertama kalinya atau untuk kesekian kalinya apapun penyebab luka tersebut. saya berharap kepanikkan atau mungkin lebih tepat disebut sebagai kecemasan orang tua jangan lupa untuk sekedar mencatatnya atau kalau perlu di abadikan lewat selembar foto dan diberi sedikit keterangan bahwa itu adalah foto ketika anak anda mendapatkan luka dan menangis karena kesakitan serta melihat darahnya sendiri keluar dari tubuhnya untuk pertama kali atau untuk kesekian kalinya tapi tetap sebut saja sebagai pertama kali. Dan untuk anda pembaca sekalian, kapan anda pertama kali mendapatkan luka dan melihat darah anda sendiri dan kapan terakhir kalinya anda mendapatkan luka dan melihat darah anda sendiri?
Sekian.

Kaputi Indah, minggu 25 Maret 2012
(sehari setelah mendapat luka sayatan)