Minggu, 22 Agustus 2010

DI DEPAN HUJAN

di depan hujan sore ini yang memaksaku harus berteduh di seberang jembatan di sebuah kios kecil
aku bertanya lagi kepada hujan
tentang semua yang kulakukan sepanjang hidupku yang hanya bisa tahu dan bicara soal orang - orang kecil
yang merana, yang kedinginan dan yang tidur beralaskan kardus
tak ada jawaban selain bertambah lebat jatuhnya hujan

aku menunduk sambil menghisap rokok terakhirku dan lagi ku bertanya
kali ini bukan kepada hujan yang marah tapi kepada hatiku sendiri
pertanyaan yang sama yang kutanyakan pada hujan sore ini
jawabannya tetap tak ada



(sepenggal catatan dari perjalanan sore saat hujan turun di Ulapato)
18 - 08 - 2010

HUJAN KENANGAN (Pertemuan Tak Terduga)

Lama sudah kita tak bertemu, Bu
dan muridmu yang dulu pernah kau ajari kini berada di depanmu
meski kau tak lagi lekat mengenalku
tapi aku, muridmu tak pernah akan melupakanmu
maka biarkan aku mencium tanganmu yang dulu penuh kapur
sekali saja
di tengah syahdu irama hujan sore yang semakin keras yang menjadi musik pengiring pertemuan kita

                                                                                                                                                                                             ILOTIDEA, 19 - 08 - 2

AKHIR KISAH

Sayang...
Setahun telah terlalui dengan penuh nada sendu nan syahdu

Saatnya kini bagì kita untuk segera mengakhiri jalan kisah kita ini dengan manis meski manìsnya tak seperti kisah dalam dongeng

Sebelum terbawa senja yang tak kan mungkin kembalì

Mari sayang...
Genggam erat tanganku seerat yakinmu untuk pergi bersamaku dari kisah masa ini

20-08-2010

Rabu, 18 Agustus 2010

DI DEPAN HUJAN

di depan hujan sore ini yang memaksaku harus berteduh di seberang jembatan di sebuah kios kecil
aku bertanya lagi kepada hujan
tentang semua yang kulakukan sepanjang hidupku yang hanya bisa tahu dan bicara soal orang - orang kecil
yang merana, yang kedinginan dan yang tidur beralaskan kardus
tak ada jawaban selain bertambah lebat jatuhnya hujan

aku menunduk sambil menghisap rokok terakhirku dan lagi ku bertanya
kali ini bukan kepada hujan yang marah tapi kepada hatiku sendiri
pertanyaan yang sama yang kutanyakan pada hujan sore ini
jawabannya tetap tak ada



(sepenggal catatan dari perjalanan sore saat hujan turun di Ulapato)
18 - 08 - 2010

Rabu, 14 Juli 2010

KISAH DUA EKOR ANJING BODOH

Di suatu malam, dua ekor anjing berjanji bertemu untuk memadu kasih, ditempat yang telah mereka sepakati seekor anjing betina menunggu dengan gelisah karena anjing jantan yang menjadi kekasihnya belum juga datang sampai beberapa jam kemudian datanglah anjing jantan dengan tergopoh – gopoh. Anjing betina yang sudah sekian lama menunggu langsung memarahi anjing jantan dan setelah puas memarahi si anjing jantan, anjing betina itupun diam. Sementara itu, anjing jantan berusaha merayu dan memohon kepada anjing betina agar mau memaafkannya tapi si anjing betina tetap diam dan mengacuhkan semua rayuan dan bujukan anjing jantan tadi. Merasa tidak dipedulikan semua usahanya meledaklah amarah  si anjing jantan, dia berkata kepada anjing betina, “baik….!!!. Kalau kau tetap tak memaafkan aku maka lebih baik aku pergi. Lebih baik aku pergi ketempat teman – temanku yang sedang berpesta daripada aku harus mengadapi anjing keras kepala seperti kau !!!”. Setelah mengatakan itu, si anjing jantan pun pergi, kini anjing betina merasa bersalah setelah ditinggal pergi oleh si anjing jantan. Dalam  ketermenungannya, dia akhirnya memutuskan untuk pergi menyusul kekasihnya si anjing jantan tadi. Anjing betina berlari sambil berurai air mata penyesalan sampai di sebuah jalan yang sunyi dia melihat sesosok tubuh yang terkapar, terdengar suara yang keluar tersendat – sendat mengerang kesakitan. Anjing betina tadi mendekati dengan perlahan – lahan sampai saat jarak yang begitu dekat dengan tubuh yang terbaring tak berdaya itu, dia mendapati bahwa tubuh itu adalah tubuh dari anjing jantan kekasihnya. Air matanya lebih keras keluar, dengan sesenggukkan si anjing betina bertanya kepada anjing jantan apa yang terjadi. Anjing jantan dengan sisa kekuatannya, menunjuk sebuah benda berbentuk wadah kecil, anjing betina pun segera mengalihkan perhatian ke arah benda yang di tunjuk oleh anjing jantan. Anjing betina mengendus cairan yang ada dalam wadah itu dan melihat sepintas sebuah tulisan di sisi wadah dan kini akhirnya dia tahu apa yang terjadi pada anjing jantan kekasihnya, sambil berkata, “dasar anjing bodoh. Air aki kadaluwarsa kau minum juga” sambil menoleh ke arah anjing jantan kekasihnya yang kini sudah menjadi mayat.   


  

Selasa, 13 Juli 2010

RITUAL PERJALANAN

simpan dulu semua tanya
tentang jalan yang tak berujung
meski umur rasanya tinggal setiang

hendaklah kau bertanya
tentang kerjamu sepanjang jalan
agar nanti ujungnya nampak
kau takkan pernah menyesal

hendaklah pula kau belajar
dari semua hal sepanjang jalan
tentang musim yang silih berganti
tentang bunga yang mekar dan layu
tentang air yang pasang dan surut
tentang dirimu yang melihat semua itu

Kamis, 08 Juli 2010

SURAT KELUH BUAT SEORANG SAHABAT

Sabtu,29 Mei 2010

"sbb,minta maaf ana blm bs dtg.,
coz lagi mati lampu,.................
......................................
...................................."

coba kau ingat lagi kalimat di atas itu. sengaja tidak kutuliskan sepenggal kalimat sisanya sebab itu terlalu privacy sifatnya.

kami sahabat - sahabat mu yang dulu pernah berjalan seiring sering merindukan hadirmu. meski kami tak tahu apakah kau juga masih menyimpan rasa yang sama seperti yang kami rasakan terhadapmu.

tak ada lagi kata yang pantas untuk meminta waktumu sedetik saja. dan bila sedetik itu terlalu berharga buatmu maka ajarkan kepada kami ukuran waktu yang lebih sedikit dari detik itu.

sengaja ku tulis ini sebab aku melihat mereka, sahabat - sahabatmu juga menyimpan rindu dengan balutan risau hati tentang dirimu.

semua berpulang padamu dan semua pun terpulang pada kami, sahabat - sahabatmu dari zaman yang mungkin meninggalkan tanda di memori otakmu atau mungkin pula telah kau bersihkan tanda itu seiring pula dengan pergantian zaman.

ini sekedar penggalan risau rindu sahabat - sahabatmu yang coba aku tuliskan.

sekian.

SANG PENULIS PELANGI ITU TELAH PERGI

UNTUK AT.MAHMUD (3 februari 1930 – 6 juli 2010)

kau pergi 
menemui sang pelukis agung
yang telah menggambarkan lukisan pelangi untuk dituliskan dan dinyanyikan olehmu, oleh anak-anak di seantero nusantara ini

kau pergi
meninggalkan pelangi yang pernah kau tunjukkan kepada anakmu kemarin
meninggalkan keindahan syair yang tak lekang waktu
meninggalkan merah kuning hijau di hati kami, di bibir kami

kau pergi
tapi tulisan pelangimu tak akan pernah pergi
dari ingatan kami

begitupun juga dengan adanya dirimu

                              Manado, 08 - 07 - 2010

BENTENG MUARA

dan dia tetap saja kokoh menembus zaman
meski terasing di belantara data kata
atau dari ingatan kecil kita tentang sejarah kedatangan para pengelana dari barat ke tanah ini

13 Mei 2010
benteng orange
lokasi Kwandang, Kab. Gorontalo Utara

TEMAN BERSANTAI PAGI HARI

“TRAFFIC LIGHTS”

Sebelum memulai aktivitas kita hari ini. Saya ingin sedikit mengajak teman - teman sekalian membaca tulisan singkat ini barang lima belas menit saja sambil menikmati secangkir kopi atau teh atau minuman hangat lainnya bersama keluarga tercinta. Renung awal kita untuk hari ini adalah tentang si Traffic Lights alias lampu lalu lintas atau yang juga sering di sebut sesuai rasa lidah kita yakni lampu merah.

Setiap harinya, kita menggunakan alat transportasi baik itu berupa kendaraan bermotor roda dua, roda empat atau yang rodanya lebih dari empat. Bahkan sebagai pejalan kaki sekalipun. Saat akan melewati sebuah persimpangan akan bertemu dengan enam buah tiang yang tertancap di bagian sudut jalan. Ketiga lampu yang tersusun dan terdiri dari tiga warna; merah dibagian atas, disusul lampu berwarna kuning dan terakhir adalah lampu berwarna hijau. Apabila kita melihat dengan seksama ketiga lampu ini, pernahkah anda atau teman – teman sekalian mengingat tentang sebuah lagu anak – anak yang syairnya seperti ini;

”pelangi – pelangi alangkah indahmu
Merah kuning hijau di langit yang biru”

Dari syair diatas tadi, saya jadi bertanya - tanya apakah konsep tentang lampu merah itu adalah hasil permenungan dari lagu berjudul “Pelangi – Pelangi” tersebut ? artinya kemudian keberadaan pelangi yang di lukiskan di lagu itu dimana hanya menyebutkan tiga warna dari beberapa warna yang sering disingkat MeJiKuHiBiNiU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, dan Ungu) merupakan ide dasar untuk kemudian di realisasikan oleh pihak yang mengeluarkan ide baru dari ide ke dua atau lanjutan (sebab ide pertama atau ide dasarnya adalah fenomena alam bernama pelangi) yakni lagu pelangi dan ide ke dua atau ide lanjutan tersebut merupakan hasil dari sebuah gambaran kenyataan atau dalam hal ini adalah fenomena alam, sebagai ide dasarnya. Soal perkembangan ide ini tak perlu kiranya saya jelaskan secara terinci lagi sebabnya adalah saya juga jadi bingung sendiri.

Traffic lights (seterusnya saya akan mengatakan sesuai rasa lidah kita dengan “Lampu merah” ) telah menjadi sebuah kebutuhan tersendiri bagi para pengguna jalan raya. Saking begitu memeperhatikan si lampu merah ini saya mencoba menuliskannya di status facebook untuk sekedar melihat tanggapan teman – teman facebook lainnya, meski tanggapan itu datang dari dua orang teman facebook saya. Saya kira itu sudah cukup menjadi sebuah bahan untuk meneruskan menulis catatan kecil ini. Berikut di bawah ini adalah isi status saya di facebook disertai tanggapan dua orang teman saya itu;

Status saya: Kenapa kita semua mau saja diatur oleh traffic lights atau si lampu lalu lintas alias si lampu merah ?
Komentar ;
Teman 1 : Yang mengatur bukan si lampu merah, tapi diri sendiri. Dia tak lain hanyalah sebagai penguji kepatuhan untuk kita.
Saya : apa karena manusia atau tiap orang itu tidak mau saling memahami dan tidak mau mengalah sedikit pun?
Teman 1 : Mungkin juga, karena itu salah satu fungsinya nafsu. Serakah, tak sabaran, gelisah, dsb.

Sebelum saya melanjutkan diskusi kecil pagi itu dengan teman ke 1 tadi, ada tanggapan lagi dari seorang teman (selanjutnya ditulis Teman 2)

Teman 2 : Untuk menghindari kecelekaan lalu lintas juga.
Saya : @ teman 1 ; berarti tanpa sadar. Setiap orang sudah merelakan sepenggal hidupnya diatur oleh mesin.

@ teman 2 ; tapi ternyata masih masih ada juga terjadi kecelakaan dan itu terjadi di simpangan yang ada lampu merahnya.

Selanjutnya tak ada lagi tanggapan dari teman ke 2 tadi. Dan tinggal saya dan teman ke 1 yang terus bertukar pandangan soal si lampu merah.

Teman 1 : Sekali lagi bukan mesin yang mengatur. Semuanya dikembalikan ke diri masing – masing. Mesin – mesin itu hanyalah penguji yang bisa jadi juga sebagai penggoda. Bila kita mampu mengarahkan nafsu, maka takkan ada kecelakaan lalu lintas. Filosofi rasa kayaknya...hehe.
Saya : baik, bisa di terima. Terima kasih banyak atas sepenggal diskusi pagi ini. Semoga saja si lampu merah bisa menjadi penguji yang hebat.

Teman 1 : Okok....Cuma mo se ilang manganto di pagi hari kwa ini. Makasih juga buat diskusinya.

Saya sengaja mengganti nama kedua teman tadi, jadi saya mohon maaf. Sebenarnya masih ada enam percakapan terakhir yang tersisa tetapi keenam diskusi sisa tersebut sudah saya bicarakan di atas tadi yakni seputar hubungan si lampu merah dan lagu anak – anak tersebut. Dimana saya selalu merasa lucu saja, ini saya katakan kepada teman saya itu dan dia mengatakan bahwa tiap warna mempunyai maknanya sendiri – sendiri makanya di gunakan dalam warna lampu lalu lintas. Diskusi kecil pagi hari ini terjadi tanggal 13 Februari 2010 mulai dari pukul 05 : 45 WITA sampai pukul 07 : 02 WITA.

Selanjutnya kita bicara sedikit soal makna warna sebagaimana yang di katakan teman saya tadi itu. Dalam makna umum tentang ke tiga lampu dalam aturan lalu lintas berarti warna merah bermakna kendaraan harus berhenti. Lampu kuning, nah lampu kuning ini yang dalam alam pikir saya tidak jelas maknanya apa. Sebagai warna perantara antara warna hijau sebagai warna yang bermakna kendaraan boleh berjalan kembali ke warna merah, seakan memberi makna bagi saya pribadi atau para pengendara lain untuk cepat – cepat menyeberang sebelum lampu merah menyala.

Selain itu juga ada lampu lalu lintas yang dipasang dengan menggunakan dua warna yang sama yakni warna kuning dan menyala secara bergantian terus menerus dengan waktu pergantian tidak lebih dari satu menit. Jadi kelihatan berkelap – kelip. Kalau meliat jenis lampu lalu lintas yang jenis warnanya sama ini kita bisa memaknainya sebagai peringatan untuk hati – hati. Tapi apakah benar maknanya seperti itu ? dan apakah ini juga berlaku bagi lampu kuning yang ada pada lampu lalu lintas yang biasa kita kenal ?

Sekian dulu. Semoga kita bisa bertemu di persimpangan jalan saat lampu merah sedang menyala. Pertanda kita harus berhenti sejenak meski sekedar untuk melihat sesama kita di sisi kiri dan kanan jalan maupun sesama pengendara.

BILA RINDU INI MEMANG UNTUKMU

Biarlah dia tenang bersemayam dalam kelam
Tak perlu ku adu bersama rindumu
Ku biarkan dia menyatu bersama pelangi pagi ini

                                    Kaputi Indah,10-02-2010

Rabu, 07 Juli 2010

ANAK DAN ORANG TUA

Sesungguhnya terdapat sebuah rahasia diantara mereka yang tak pernah tersepakati sebelumnya sebagai sebuah rahasia yang harus di simpan. Rahasia itu ada dengan sendirinya dan tak akan pernah hilang ataupun musnah meski mereka tak lagi ada di dunia.

                                                                                                                           Batu Kota, 07 - 06 - 2010

Selasa, 06 Juli 2010

SEJATINYA RINDU CINTA

Sejatinya rindu bukan pada ucapan, melainkan pada pelukan
Sejatinya cinta bukan pada pertemuan, melainkan pada keterpisahan
4 mei

KISAH UNTUKMU


Saya ada di sebuah pub oh bukan tapi sebuah tempat layaknya pub dan kalian tahu bagaimana suasana pub? Musik yang membuat dada menghentak, jantung yang berdegup kencang mengikuti alunan hentakkan musik yang tersambung pada pengeras suara yang dua sampai lima kali lebih besar daya dan ukurannya dari yang kalian punya dirumah. Atau adakah dari kalian, wahai pembaca saya yang budiman, yang belum pernah ke pub? Sungguh sangat di sayangkan apabila ada dari pembaca saya yang “terlampau” budiman bila belum pernah bertandang ke tempat itu lalu membicarakan hayalan kalian soal tempat itu dengan mengatakan bahwa tempat itu, tempat yang bernama pub itu adalah tempat berkumpulnya para maksiator, ini sebutan yang sengaja saya buat untuk para pelaku maksiat.

Saya bukan hendak menyuruh kalian kesana akan tetapi alangkah baiknya kalian tidak terjebak dengan hayalan – hayalan yang di suntikkan oleh mereka yang merasa telah budiman lebih dulu sehingga kalian, wahai pembaca yang budiman, merelakan nalar kalian di rasuki setan hayalan dan namanya hayalan saya rasa tidak perlu untuk di buktikan kalau kalian, wahai pembaca budiman, ingin menjadi orang yang terlampau mengkakukan diri kalian sendiri dengan pendapat para penghayal itu. Maka buktikan hayalan suapan itu dengan bertandang ke tempat bernama pub.

Masih di tempat yang sebenarnya bukan pub dan saya tak akan menyebut nama asli tempat dimana saya melahirkan tulisan ini. Saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah kisah dari buku kumpulan cerpen yang saya beli kemarin. Dan, saya tidak mengerti dengan arah cerita itu maksud saya begini, cerita itu penuh dengan pengandaian atau menggunakan alias – alias atau metafora, meski saya tak tahu pengertian metafora yang sebenarnya itu apa. Tulisan itu kemudian mengilhami saya untuk menulis sepenggal ide yang tergenang akibat satu cerpen itu. Untung saja tidak sampai menyebabkan banjir dan sebenarnya saya tidak perlu khawatir untuk banjir sebab penyimpan air saya masih tetap terjaga walaupun di sisi lain saya sudah menyiapkan segala kemungkinan kalau – kalau saya khilaf sampai menyebabkan banjir. Perahu kano lengkap dengan dayung dua buah di sisi kiri dan kanan, pelampung sebanyak tiga buah, kompor gas mini dan segulung tali yang sering di gunakan para pendaki. Itu saja dulu yang saya siapkan selebihnya tolong di ingatkan lagi, oh iya ada yang terlupa, daftar nomor telpon untuk keadaan darurat. 

Masih juga di tempat yang sama, sejenak saya menghentikkan aktivitas saya untuk mengetik lanjutan cerita untuk paragraph keempat ini. Mungkn kalian, wahai pembaca budiman, tak bisa melihat aktivitas apa yang menghentikan saya tersebut maka baiklah saya akan menceritakan sedikit aktivitas yang lain sehingga menghentikan aktivitas saya yang utama. Saat saya sedang menulis kisah antah berantah ini, saya sedang menikmati segelas kopi yang telah saya buat sebelum menulis kisah ini dan sebatang rokok. Dan saya menghentikkan aktivitas utama saya, menulis karena saya ingin menikmati kopi saya sekaligus menghisap sebatang rokok yang hampir habis dan  tunggu sebentar, saya ingin meminum lagi kopi saya dan menyalakan sebatang rokok lagi dan setelah saya hitung ternyata rokok yang saya habiskan sudah tiga batang untuk waktu yang belum sampai setengah jam dan lagi rokok yang akan saya pasang ini adalah rokok ke empat saya.

Masih di tempat yang sama pula dari pertama kali saya memulai menulis ini tapi musik pubnya tadi sempat berhenti sepuluh menit. Selidik punya selidik tanpa harus mengambil alih tugas para peyelidik yang sedang menyelidiki kasus video mesum pasangan selebritis yang bikin geger dan sempat membuat semua orang jadi moralis ternyata alasan terhentinya musik pub itu karena si penyetel lagu kedataangan tamu perempuan yang saya ketahui dari suaranya pasti seksi kalau saja dia tahu dirinya seksi dan mudah – mudahan dia tak tahu dirinya seksi supaya tidak membuat dirinya kelebihan percaya diri.

Masih juga di tempat yang sama dengan paragraph – paragraph sebelumnya. Barusan juga saya berhenti mengetik cerita ini karena saya sedang mengucek – ngucek mata saya yang selalu salah lihat. Mungkin ini karena pengaruh keadaan mata saya yang terlalu sensitive dengan hal – hal yang begituan. Tapi, alangkah baiknya tak usah di bahas sebab bisa mengganggu alur cerita yang indah meski indahnya tak seperti surga yang sering di hayalkan atau ini adalah cerita yang buruk tapi mudah – mudahan tak seburuk keadaan neraka yang sering dijadikan bahan untuk menakut - nakuti anak – anak termasuk saya saat masih kecil.

Masih di pub yang saya katakan sebelumnya. Kini rokok yang telah saya hisap sudah resmi berubah menjadi empat batang dan kini puntungnya sudah tergeletak tak rapi di dalam asbak keramik. Kini saya dihinggapi kebingungan untuk meneruskan kisah antah berantah ini dari tempat yang sebelumnya saya katakan sebagai pub. Hidung sudah mulai gatal dan saya pun kebingungan dengan rasa gatal yang di buat – buat demi menyambung proses penulisan ini. Sejujurnya, saya menulis ini hanya sekedar ikut – ikutan saja menulis dengan gaya yang seperti ini. Ini semua karena cerpen yang saya baca tadi.  Dan saya tidak akan malu bila di katakan sebagai seorang penjiplak gaya menulis, dasar dari ketidakmaluan saya adalah saya ingin menjaga saja energi menulis saya sebab saya tak bisa meminta orang lain untuk menulis kalau saya tidak berusaha untuk menjaga konsistensi saya dalam menulis, rasanya percuma juga berceramah atau menasehati orang lain sementara si penceramah atau si pemberi nasehat hanya setengah – setengah menjalani semua yang dia ceramahi atau nasehatkan. Betul tidak? Kalau betul saya harapkan untuk tidak berdiri sambil bertepuk tangan atau dalam bahasa kerennya standing applause dan kalaupun tidak betul saya sungguh mengharapkan caci maki yang lebih kasar dari yang paling kasar dari yang yang paling kasar yang pernah tercipta dalam jagad kebahasaan meski tidak dianggap sebagai bagian dari bahasa.

Suara musik masih nyaman berbunyi di pub ini, menandakan saya belum mau beranjak dari tempat ini meskipun hari ini kalau tidak salah adalah hari senin di bulan juni entah hari senin yang keberapa dan kalau melihat kalender hari ini adalah tanggal dua puluh satu juni tahun dua ribu sepuluh. Suara musiknya kembali terhenti, mungkin si penyetel musik sudah bosan. Kini saya hanya mendengar suara air dari kamar mandi yang jaraknya tak terlalu jauh dari bilik tempat saya menulis kisah antah berantah ini.

Meski suara musiknya sudah berhenti tapi saya akan tetap mengatakan bahwa saya sedang berada di sebuah pub dan berada di sebuah bilik. Oh iya, saya punya sedikit cerita pengalaman saya kemarin sore. Saat saya sedang menunggu orang tua saya di depan sebuah hotel, saya melihat sepasang turis asing entah berasal dari Negara apa sedang berjalan kaki tiba – tiba melintas sebuah angkot yang di penuhi oleh anak – anak muda, perempuan dan laki – laki. Melihat kedua orang bule ini, beberapa orang perempuan muda yang ada dalam angkot itu meneriakkan kata – kata makian kepada kedua bule tersebut dengan begitu kerasnya. Saya hanya tersenyum menyayangkan kelakuan mereka itu. Bukan saya hendak menjadi seorang petugas kemanusiaan akan tetapi apa yang sedang berlaku itu cukup menjadi buah pikiran saya untuk beberapa jam saja menafsirkan tindakan anak – anak muda itu. Tafsir tak punya penafsir, saya hanya bisa berasumsi saja mungkin ini adalah sebuah euforia atau kekagetan atau kegagapan ketika melihat orang bule sekaligus ingin mempraktekkan perilaku yang mereka lihat di film – film luar negeri saja. Hehehehehehehe……

Saya masih di salah satu bilik di pub yang sama. Musiknya kini sudah mengalun lagi. Kini alunan musiknya tidak lagi menghentakkan dada dan jantung. Alunan musik lembut dan mendayu – dayu seakan mengajak orang untuk berdansa sambil berpelukkan atau menenggak minuman berkali – kali sambil menghayalkan pengalaman pribadinya bersama orang yang pernah dicintainya sampai harus mengorbankan segalanya. Memang cinta membuat hampir semua orang kehilangan kendali atas alam atas sadarnya. Apalagi di tambah dengan lagu – lagu yang disukai bersama seakan sedang beakting dalam sebuah film mandarin saja. Memimpikkan sebuah cerita yang happy ending dan menyesalinya bila cerita yang diinginkan berlaku sebaliknya atau bad ending. Kenginan untuk menyelesaikan cerita layaknya dongeng Cinderella atau putrid salju dimana selalu berakhir dengan kalimat “dan mereka pun hidup bahagia selamanya” begitu indah bersarang dalam nalar para pelakon drama cinta. Tapi, itu hak mereka juga kan ? tidak betul ?

Masih tetap di bilik pub dan entah sampai kapan saya akan berada di sini. Dan bila terbersit tanya pada diri kalian wahai pembaca budiman tentang kenapa saya selalu memulai dengan tempat saya berada sekarang ini. Saya harap kalian bersabar untuk menunggu jawabannya sebab saya masih ingin bercerita. Alunan musik lembut yang mengajak orang berdansa sambil berpelukkan atau sekedar menenggak minumannya berkali – kali sambil menhayalkan kenagan indah nan pahit bersama orang yang dicintai dahulu sudah berhenti sepuluh menit yang lalu dan kini diganti lagi dengan lagu – lagu sebelumnya. Mungkin ada gerutu tapi begitulah suasana pub. Disini orang bisa di nina bobokkan dengan lantunan halus musik yang mendayu – dayu dan tiba – tiba kembali di hentakkan dengan lantunan musik berirama cepat dan menghentak membuat orang ingin berajojing riang sambil menggesek – gesekkan badan.

Dari salah satu bilik pub ini dan tanpa harus menenggok keluar untuk melihat orang – orang yang sedang beraksi dengan berbagai macam goyangan spesial mereka akan ketahuan dari suara – suara mereka yang berteriak kegirangan saat bergoyang menikmati lantunan musik berkeringat itu.
 
Saya masih menulis menulis dari dalam bilik pub. Kita tetap berteman kan? Ini adalah garis besar dari pertanyaan teman saya ketika kami berkumpul menikmati sore yang baru saja di hujani atau sore itu hujan baru saja selesai turun dengan secangkir kopi di sebuah kantin salah satu universitas ternama di daerah kabupaten Gorontalo. Hari itu adalah hari dimana kami baru saja menggelar acara Launching jurnal kami. Dan selanjutnya pembicaraan mengenai keberlagsungan jurnal ini dilanjutkan di kantin sambl menikmati minuman hangat agar pembicaraan kami tetap hangat atau tetap di jaga kehangatannya. Saya memang meniatkan untuk mundur dari jabatan sebagai pemimpin redaksi jurnal itu dan niat itu terlaksana dengan mulus setelah tawaran saya ternyata tidak tersetujui. Dan kalimat tanya itu pun terlontar dari salah satu teman saya dimana bagi saya tidak seharusnya di tanyakan. Saya tertawa saja mendengar itu, bisa – bisanya pertanyaan itu terlontar. Bukankah kita sama - sama menginginkan perubahan ? akan tetapi untuk memilah mana urusan kerja dan urusan perkawanan saja tidak bisa kita lakukan. Tapi, itu terserah kalianlah. Bila cara berpikir seperti ini tetap di pertahankan maka kita mau tidak mau harus berhadap – hadapan dan itu berarti perkawanan kita hanyalah usaha saling tipu menipu saja. Siapa yang paling hebat tipu muslihatnya maka dialah yang akan memenangkan pertarungan ini.  Dan perubahan yang terjadi pun bukanlah perubahan yang kita inginkan.
Masih di bilik pub yang sama. Suara – suara perempuan – perempuan dalam balutan pakaian super seksi ini saya ketahui karena saya sudah tidak tahan untuk mengintip aksi goyangan mereka dan 1000 kali wow !!! zakar saya sudah di buat bangun dan seribu macam hayalan sudah merangsak masuk kedalam otak saya hendak mengkudeta ide – ide saya dalam menulis. Langsung saja saya kembali ke dalam bilik saya dan tidak lupa memesan satu pitcher minuman dengan kadar alcohol yang rendah. Saat saya hendak berjalan kembali ke bilik saya, saya berpapasan dengan seorang perempuan muda dalam balutan pakaian yang seksi. Baju dengan model terusan ketat dimana panjangnya hanya sampai di atas lutut. Lorong yang hanya bisa menampung satu ukuran tubuh memaksa kami untuk berjalan sambil menyamping dan itu menyebabkan posisi kami berhadapan, saat berusaha berjalan dengan menyamping itulah dan saat kami berada pada posisi berhadapan dadanya yang mengembang pun tersentuh, keadaan itu membuat saya mengatakan permohonan maaf saya kepadanya dan perempuan itu tersenyum saja tapi sebelum jarak kami berjauhan ada yang menahan tangan saya. Saya pun kaget dan berpaling, ternyata tangan perempuan itu menagan tangan saya dan langsung menarik saya ke dalam salah satu bilik. Disanalah untuk waktu tidak sampai setengah jam kami memanjakan bibir kami dan tangan kami. Maaf para pembaca budiman, ini saya ceritakan sekedar sebagai bagian pengalaman saja dan bukan bermaksud berporno riang gembira. Kami hanya berciuman dan saling menjelajah tubuh saja dan tidak sampai dengan adegan telanjang. Ini mungkin sekedar melampiaskan “kegembiraan” hati saja.

Saya kembali ke bilik saya. Saat memasuki bilik, saya mendapati seorang pengantar minuman yang juga seorang perempuan dengan kemeja dari bahan yang agak kasar berwarna biru dan mengenakan rok mini sedang memperhatikan laptop saya. Dia tidak duduk saat mengamati laptop saya tapi hanya membungkuk. Dari arah belakang kelihatan rok mininya terangkat sehingga terlihat sebagian pahanya. Saya langsung duduk dan perempuan itu kaget melihat saya. Maaf katanya, saya hanya tersenyum saja. Saya hanya berkata “tidak apa – apa”. lalu saya melanjutkan kalimat saya, “kamu suka dengan cerita saya ini?”. Pelayan perempuan yang masih berdiri yang mungkin sedang menunggu hukuman dari saya karena telah lancang melihat laptop saya pun berkata “itu cerita apa?”. Saya lalu memintanya untuk membaca sekali lagi cerita ini tapi sayang dia masih punya tugas lain dan akhirnya kami pun bertukaran nomor hape dan saya berjanji kalau cerita ini sudah selesai saya akan menghubungi dia.

Saya meneruskan mengetik cerita antah berantah ini. Dan mungkin kalian wahai pembaca yang budiman akan sedikit bertanya apakah benar ada sebuah  pub yang menyediakan kopi. Tentu saja jawabannya ada kalau kalian mau berfikir untuk memesannya. Saya menuangkan minuman pesanan saya. Meminumnya sedikit dan meneruskan aktivitas menulis saya dari salah satu bilik pub ini. Saat mulai paragraph yang baru, pelayan perempuan tadi kembali ke bilik saya. “maaf” katanya dan saya mengatakan “ada apa?” dia langsung duduk di sebelah saya dan langsung mencium saya tepat di bibir. Lima menit kami bergumul lidah, dan setelah selesai dia berkata untuk tidak lupa pada janji saya. Saya hanya tersenyum dan mengiyakan permintaannya itu. Dua kali sudah saya menikmati ciuman dari dua perempuan yang berbeda. Bila kalian, wahai pembaca budiman, menganggap kedua perempuan ini tidak memiliki harga diri atau saya sengaja untuk menjatuhkan derajat perempuan itu bukanlah maksud saya. Saya hanya penyampai pengalaman saja. Pelayan perempuan itu telah keluar dari bilik saya dan kembali melanjutkan kerjanya sebagai pelayan di pub ini. Dan saya melanjutkan aktivitas menulis saya sambil menikmati minuman yang di antarkan oleh pelayan perempuan tadi.

Saya masih tetap berada di salah satu bilik pub yang saya katakan di awal bukanlah sebuah pub. Sejenak saya menghentikkan aktivitas menulis saya dengan membaca ulang tulisan saya ini dan menemukan sebuah kebosanan. Mudah – mudahan kalian wahai pembaca budiman menemukan kebosanan yang sama pula saat membaca tulisan ini. Saya melihat ke arah asbak, disitu telah ada tujuh puntung rokok. Tujuh, adalah sebuah angka yang mengingatkan saya ketika di umur tujuh tahun saya mengikuti sebuah lomba menulis indah dengan huruf sambung. Dan di akhir umur tujuh tahun, saya mendapat sebuah buku kumpulan roman Indonesia yang di belikan ayah saya ketika dia mengikuti penataran pegawai di Jakarta. Saat itu juga di televisi yang masih setia dengan siaran TVRI tidak seperti siaran televisi sekarang ini yang telah ramai dengan berbagai chanelnya tengah menampilkan tiga film berturut - turut yang diangkat dari tiga kisah roman yang berjudul; Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, dan Mencari pencuri Anak Perawan”. Untuk cerita roman yang terakhir yang diangkat ke layar televisi ini saya tidak menontonnya sampai selesai.  Namun yang cukup membanggakan saya adalah saya bisa mendapat semangat untuk menulis dari memori lama itu meski saya sering menjebak diri dengan rasa malas.

Saya masih tetap di salah satu bilik pub. Entah sudah berapa lama saya disini tapi saya enggan untuk melihat jam. Satu pitcher minuman ternyata terlalu banyak buat saya. Kepala sudah terasa berat dan perut saya sudah terasa penuh dengan cairan. Saya sudah beberapa kali ke kamar kecil. Dan saatnya saya harus sedikit menjelaskan kenapa saya selalu memulai setiap paragraph dengan tempat saya berada tapi maaf kepala saya sudah cukup berat dan kemalasan saya sudah datang jadi wahai para pembaca budiman saya memohon kebudimanan kalian untuk tidak memaksa saya menjelaskan alasan ini. Bila kebosanan melanda kalian saat membaca kisah saya ini, saya memohonkan maaf sebab saya pun bosan dengan tingkah laku mereka. Tak perlu saya jelaskan “mereka” itu siapa. Biarlah itu menjadi misteri. Bukankah Negara ini penuh dengan cerita misteri. Bahkan cerita yang seharusnya tak pantas untuk menjadi misteri di paksakan untuk di misteri – misterikan. Dan memang, terkadang misteri akan indah bila dia tetap menjadi misteri. Asalkan tidak di sengaja memisterikannya saja. Bila ada yang bertanya indahnya dimana maka akan saya katakan bahwa indahnya misteri itu terletak pada sekian banyaknya perbedaan yang muncul akibat dari usaha untuk memecahkan misteri itu.

Saya masih duduk di dalam bilik sebuah pub, menikmati minuman saya sambil merokok. Sambil membaca lagi tulisan ini. Mengkoreksinya sedikit dan akhirnya selesai juga. Saatnya saya harus meninggalkan bilik pub ini. Mengumpulkan lagi bahan buat tulisan selanjutnya lewat bacaan – bacaan yang tercecer dan sering menjadi biang keluh kesah.   

Manado, 21 Juni 2010









Selasa, 22 Juni 2010

PROSEDUR

Pagi ini, dengan mata yang agak berat sebab semalaman aku tak tidur. Biasalah, penyakit yang sebenarnya bukan penyakit tapi ku anggap sudah menjadi penyakit atau dalam maksud yang lain sebagai kebiasaan yang terus menerus dibiasakan sehingga menjadi penyakit. Insomnia itulah nama penyakit yang tumbuh dari kebiasaan burukku. Sekali lagi, pagi ini dimana jarum jam sudah hampir masuk pukul sepuluh, aku bersiap untuk pergi bersama ayahku buat mengurus kartu tanda penduduk sebagai alat melegalkan aku sebagai bagian dari penduduk sebuah Provinsi, kotamadya, kecamatan dan kelurahan dimana aku tinggal sekaligus juga melegalkan diri sendiri sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Bila aku ingat – ingat lagi, sudah lumayan lama juga aku mengurus surat pengantar dari kantor kecamatan untuk kemudian surat pengantar itu di bawa lagi ke kantor catatan sipil dan kependudukkan, begitu nama instansi yang akan aku tuju kalau aku tak salah mengingat nama kantornya. Kalau di hitung – hitung lagi mungkin sudah hampir tiga bulan lebih lamanya surat pengantar itu tersimpan rapi di lemari buku ku dan untung saja tidak tertera tanggal kadaluwarsanya. 

Jarak antara rumahku dengan kantor tempat mengurus legalisasi sebagai warga daerah dan Negara memang tidak terlampau jauh dan bisa saja di tempuh dengan berjalan kaki akan tetapi matahari yang cukup terik di pukul sepuluh itu bisa membuat si pencoba jalan kaki ke kantor itu akan lelah sekaligus bermandi peluh sehingga bisa membuyarkan dandanannya. Tapi sekali lagi kuyakinkan, jaraknya memang tidak cukup jauh. Aku bersama ayahku berangkat ke sana dengan menggunakan sepeda motor dan tidak sampai setengah jam sudah bisa sampai dan memarkir motor yang kami naiki di tempat parkir yang sudah tersedia tentu saja. 

Kertas putih, pengantar dari kantor kecamatan kulipat dengan rapi. Aku dan ayahku memasuki kantor itu bersama. Aku sebentar melihat kearah papan pengumuman siapa tahu ada hal yang menarik yang bisa ku baca disana dan memang semua yang tertempel di papan pengumuman itu cukup menarik. Di papan itu tertempel penjelasan mengenai alur atau prosedur pengurusan kartu tanda penduduk dan ada beberapa pengumuman lain tentang penerimaan calon pegawai negeri sipil dan tenaga honorer berikut syarat - syaratnya dan ada sebuah pamflet berwarna hijau daun. Lagi asyik mematutkan diri di papan pengumuman ayahku yang tadi terus ke dalam ruangan memanggil aku untuk menyerahkan surat pengantar dari kecamatan kepada seorang petugas. 

Di dalam ruangan yang lebih mirip sebuah ruang pertemuan yang di bagi menjadi beberapa bagian untuk ruang kantor sehingga ruangan yang pada dasarnya, menurut perhitunganku cukup luas menyisakan sebuah ruangan yang dijadikan ruang tunggu dengan beberapa dereten kursi panjang. Begitu ramainya di dalam ruang tunggu itu. Ternyata bukan hanya aku saja yang ingin mengurus kartu tanda penduduk. Aku langsung berjalan menuju petugas yang ditunjukkan ayahku, seorang perempuan yang berusia sekitar tiga puluh tahun mengenakan jilbab dan masih dengan seragam olah raga. Oh iya, aku baru ingat. Hari itu adalah hari Jum’at. Dan biasanya hari jum’at adalah hari dimana semua pegawai pemerintahan di ingatkan untuk berolah raga dan mudah – mudahan saja sekalian dengan berolah rasa.

Aku menyerakan surat pengantar dari kecamatan kepada petugas itu. Dia melihat sebentar surat pengantar itu kemudian dia bertanya kepadaku “sebelumnya, sudah pernah mengurus KTP?” dengan mantap tanpa menanggalkan keluhuran budi pekerti aku menjawabnya sambil tersenyum “sudah, tapi sudah habis bulan februari tahun lalu”. Petugas itu menyerahkan surat pengantar itu kepadaku sambil berkata “tolong surat pengantar ini di taruh dalam map. Beli saja di sebelah” tak lupa pula jari telunjuknya di ikut sertakan buat menunjuk kearah samping kantor . Aku tersenyum lagi, dan dalam hatiku terbersit sedikit keluh “map lagi…map lagi”. 

Aku berjalan keluar di temani ayahku. Menuju kearah samping kantor sesuai petunjuk si petugas tadi. “map satu” kata ayahku kepada petugas foto kopi yang juga seorang perempuan. Perempuan petugas foto kopi mengambil map merah sambil mengatakan harga yang harus dibayarkan untuk satu map itu. Ayahku mengambil dompet dan membayar dengan uang sepuluh ribuan. Petugas itu menanyakan kepada ayahku kalau ada uang pas. Ayahku mencari uang seribuan sebab harga map itu hanya seharga enam ratusan. Ternyata usaha ayahku untuk menemukan lembaran uang seribuan di saku kanan dan kirinya itu tidak berhasil. Petugas itu kembali ke arah tempat dia menaruh uang hasil pembayaran dan mengembalikkan uang sisanya kepada ayahku. 

Surat pengantar itu kini sudah terlihat cantik dengan pakaiannya bernama map. Pikir punya pikir ternyata secarik kertas pun butuh pakaian agar dia terlihat lebih punya martabat meski harga pakaiannya itu sangat murah. Aku bergegas kembali ke tempat pertama yang aku datangi dengan surat pengantar yang kini sudah naik derajatnya karena sudah berbaju. Aku menyerahkan map yang didalamnya terselip surat pengantar tersebut kepada petugas yang sama. Petugas itu membuka baju dari surat pengantar pengurusan KTP dan mencatat namaku di sebuah buku besar yang berisi daftar nama orang yang mengurus KTP. Setelah itu petugas itu memintaku untuk menunggu sebentar sampai namaku di panggil buat sesi pemotretan.

Lima menit telah lewat sejak aku keluar untuk menunggu namaku di panggil. Aku duduk di luar aula sambil membaca koran terbitan kemarin dan hari jum’at itu. Ayahku memanggilku dari ruang aula. Panggilan pertama ayahku aku pura – pura tak dengar. Panggilan kedua aku menengok ke dalam aula kulihat ayahku meamanggilku sambil melambaikan tangan. Seorang petugas laki – laki entah sudah berapa kali memanggil namaku. Aku bergegas menghampiri petugas itu, lagi – lagi dia memanggil dengan suara jenis baritone yang sungguh – sungguh lebih baritone dari suara jenis baritone. Aku mengangkat tanganku sedikit untuk menunjukkan bahwa orang yang dia panggil telah ada tepat di depannya. Ternyata dia mengerti isyarat tanganku saking mengertinya dia dengan isyarat yang ku buat. Dia menanyakan lagi padaku, “FAJRAN LAMUHU ?” sambil menunjukku dengan kedua jarinya yang terselip pulpen. “iya” jawabku singkat. “berdiri di situ” kini seorang petugas lainnya yang tengah duduk menghadap computer dengan sebuah kamera lengkap dengan penyangganya menyuruh aku menghadap segaris denga lensa kamera. Aku memandang ke bagian belakangku hendak melihat latar tempat aku berfoto. Di situ ada kain berwana merah dan biru dimana masing – masing kain itu di buat layaknya penggaris. Aku berdiri dengan mengambil latar kain biru sebab dengan begitu aku bisa segaris dengan lensa kamera, meski sejujurnya bila di suruh memilih aku akan memilih kain berwarna merah saja. Beberapa kali laki – laki yang bertugas untuk mengambil gambar untuk di pasang pada KTP memperingatkan aku untuk menghadap lensa dan sedikit tersenyum. Saat itu muncul pikiran nakalku untuk membuat foto unik seperti yang pernah akulihat di sebuah film komedi dimana foto yang terpasang di kartu tanda pengenalnya adalah foto saat dia sedang tertawa. Tapi sayang, aku bisa di anggap melecehkan institusi kalau aku berbuat itu. Dan bisa saja urusannya akan jadi panjang.

Sesi pemotretan telah selesai. Kini aku harus menunggu lagi kartu tanda pendudukku selesai di proses. Lima menit saja aku menunggu, lagi – lagi si pemilik suara baritone memanggil namaku. Langsung saja aku menunjukkan batang hidungku dihadapannya. Kartu Tanda Pendudukku sudah selesai, sebelum aku beranjak pergi dia memintaku untuk memeriksa kembali semua keterangan mengenai identitasku yang tertera di kartu itu. “periksa lagi” begitu katanya. “sudah” jawabku singkat. “Periksa lagi” katanya lagi. Aku dengan menahan jengkel menjawab “sudah”. 

Aku meninggalkan si petugas dengan suara baritone itu menuju ke bagian lain agar KTP ku yang baru bisa tahan lama maka harus di pakaikan baju. Aku menyerahkan KTP baruku ke petugas yang ada di sebuah ruangan isolasi dengan sebuah mesin pres di sampingnya. “di fotokopi dulu tiga lembar” kata petugas yang juga seorang perempuan berjilbab tapi tidak mengenakan pakaian olah raga mungkin dia lagi malas berolah raga atau bisa saja dia lagi mendapat halangan untuk berolah raga. Aku mengambil lagi KTP baruku dan pergi ke tempat foto kopi yang tadi ku datangi saat membeli baju buat surat pengantarku. Kini aku pergi sendiri, ayahku menunggu di depan ruang terisolasi itu. 

Di tempat foto kopi yang tadi kudatangi saat membeli baju buat surat pengantarku sudah ada dua orang lainnya yang hendak mem fotokopi KTP baru mereka. sambil menunggu giliranku untuk memfoto kopi KTP baruku. Aku memperhatikan ruang foto kopi itu sampai perhatianku beralih pada pembicaraan dua perempuan yang kebetulan berdiri bersebelahan denganku. Seorang perempuan yang mengenakan busana muslimah berwarna pink berkata kepada temannya “kalau saya menikah nanti sebelum masa berlaku KTP saya berakhir apa saya harus mengurus KTP lagi?” temannya yang juga dengan balutan busana muslimah berwarna hitam kemudian menjawab “ya iyalah, kan di KTP sebelumnya status kamu belum menikah. Walaupun belum habis masa berlaku KTP kamu. Kamu harus mengurusnya lagi”. Sampai disitu acara menguping pembicaraan mereka sebagai acara penghilang rasa bosan. Urusan kopi mengkopi mereka sudah selesai. Kini giliranku untuk mengkopi KTP. Selesai dengan urusan kopi mengkopi KTP sebanyak tiga lembar, aku bergegas kembali ke dalam kantor menemui si petugas pres – pres an KTP. Aku menyerahkan tiga lembar kopian KTP bersama KTP aslinya. “tujuh belas ribu lima ratus” kata petugas dari ruang terisolasi itu. Aku meminta uang kepada ayahku. Beliau memberiku uang dua puluh ribuan. Aku menyerahkan uang dua puluh ribuan itu kepada petugas, si petugas kembali berkata “ada uang pas?” aku menggeleng sambil menjawab “tidak ada”. Si petugas mengeluarkan uang dari laci mejanya uangnya kurang lima ratus rupiah. Aku merelakan saja lima ratus rupiah dan mengambil sisanya dua ribu rupiah. Lagi – lagi terbersit pikiran nakalku. Seandainya saja petugas itu bisa diajak bercanda aku akan mengatakan kepadanya begini, “lain kali sediakan permen supaya kalau tak punya recehan lima ratus bisa diganti dengan permen seperti di supermarket”. KTP baruku yang sudah selesai di pres sudah ada di tanganku. Terlihat begitu cantik dengan balutan pakaian transparannya. KTP itu kuserahkan ke ayahku sebab dia ingin melihat juga KTP ku yang berbaju transparan itu dan beliau berkata “sama saja kualitas pres nya dengan tempat lain” kata – kata ayahku ini cukup bisa memberi rangsangan pada alam pikirku.

Kami berjalan keluar dari kantor kependudukan itu dan berjalan ke tempat dimana motor yang kami naiki di parkir. Kata – kata ayahku tadi masih menggelitik alam pikirku. Kuperhatikan lagi areal gedung kantor itu sampai dengan tempat foto kopinya. Sempat aku bertanya dalam hati pasal tempat foto kopi itu. Tapi sudahlah, sebab pikiranku yang “kotor” langsung mengarah pada kata “monopoli”. Dan aku juga sempat menyayangkan kenapa aku tadi tidak menanyakan pada petugas pres – pres an itu, kalau boleh mem pres KTP ku di tempat lain. Tapi lagi – lagi aku harus mencoba bijak sebagaimana slogan “Orang Bijak Taat Pajak” tapi bagiku itu akan berubah menjadi “Orang Bijak Tak Usah Banyak Tanya” ikuti saja prosedur yang ada maka anda akan termasuk warga yang baik. Atau bisa saja kalau aku bertanya soal mem pres di tempat lain pasti dianggap tidak nyambung atau bahkan tidak cerdas. Biarlah, yang penting aku sudah punya KTP dan resmi jadi Warga Daerah dan Warga Negara. Urusan tanya menanya yang dianggap tidak nyambung atau tidak cerdas disimpan saja untuk nanti kalau semua sudah mengerti benar dengan demokrasi. Begitu pikirku saat aku sudah pergi menjauh dari kantor urusan kependudukan itu.
                                                          Manado, 22 Juni 2010

SIAPA KITA (sebuah komentar buat tulisan seorang kawan)

Benarkah kita hari ini adalah kita yang kemarin dulu ?
Bukan
Iya
Bukan
Bukan iya juga iya bukan

Kita sudah berubah begitupun adanya nyata hari ini
Masa lalu kita yang berpelangi di uji hari ini
Bukan tentu saja bukan
Bukan membuat kita seperti layaknya mereka
Dimana pertemanan hanyalah dongeng belaka
Dan pertarungan antara kita itulah yang nyata
Hingga batas pertemanan dan pertarungan adalah hayalan belaka

Kisah perang saudara, pandawa dan kurawa bukanlah sebuah jalinan tali takdir manusia
Begitu pun kisah perang saudara Hulondalo dan Limutu
Bukan tentu saja bukan
Bukan benang merah yang tidak bias tidak untuk di putus

Sekali lagi
Benarkah kita hari ini adalah kita yang kemarin ?
Kuharap pelangi kita kemarin masih tetap ber – mejikuhibiniu

Manado, 22 Juni 2010

Senin, 31 Mei 2010

CATATAN GUNDAH

bila jumpa mengurai pilu
dan rindu hanyalah sebuah kisah masa lalu
lalu apa guna rindu



Gorontalo, 14 - 04 - 2010

Jumat, 21 Mei 2010

BLUE (HUS)BAND

Ujang satu hari
Laki babadiri
Lama ba tunggu bini
Terpaksa nonton Miyabi

juli 2009

PUISI SENDIRI

Ini puisi
Kudapati dia saat aku hendak berdiri

Puisi ini
Buah dari mereka yang mati

Ini puisi ini
Dirangkai tak peduli isi


Gorontalo,22-08-2009

PAMIT

Tentu kau kaget kalau aku datang bertamu ke rumahmu malam ini. Tanpa memberitahumu lebih dulu lewat sms maupun menelpon. Aku hanya ingin sekedar memberi kejutan saja untukmu sebab aku sudah lama tak memberi kejutan lagi padamu sejak perpisahan kita beberapa tahun silam. Dan kemarin, setelah beberapa tahun yang silam itu terlewati hingga saat istirahat pun pertemukan kita, kau dan aku, untuk sekedar melepas letih menahan rindu, ini menurutku.

Maaf kalau malam ini setelah beberapa malam telah menjadi waktu buat kita, kau dan aku, entah selesai atau tidak melepas letih rindu. Aku harus kembali melanjutkan perjalanan ku sendiri dan kau pun begitu, kurasa. Sebab sepanjang pertemuan istirahat kita, rasanya sudah lebih dari cukup buat kita untuk sekedar saling melihat, menatap bahkan menuangkan ego.

Kau baru saja melepas baju penat mu yang basah oleh peluh perjalanan dan juga basah oleh guyuran gerimis hujan bulan Februari. Aku tak mungkin menawari mu rokok yang masih tersisa dari perjalananku. Malah kau yang menawariku seteguk air putih segar bersama kue lapis yang kau iris tipis sebanyak empat. Sampai akhir pertemuan kita kue itu tak kusentuh sedikitpun dan aku hanya meneguk beberapa kali air putih suguhanmu tadi.

Aku tak bisa bahkan tak punya kemampuan berbasa basi sampai kucoba bercanda pun hasilnya malah membuat berantakan pertemuan kita ini sebab bercandaku mengingatkanmu bahkan menjadikanmu berpikir tentang sifatku dahulu yang paling kau benci. Tak apa, sepanjang apapun ku jelaskan tetap tak akan merubah apapun. Adalah hak mu juga untuk tetap dengan ketetapan hatimu.

Malam ini aku sekali lagi mencari segurat harapan di wajahmu tapi tak juga ku temui sebab wajahmu terlalu jauh kau palingkan. Dan….aku pamit, bukan untuk sementara waktu tapi untuk selamanya. Bila nanti kembali kita berjumpa, biarlah kita bagai dua orang pengelana yang saling asing.

Malam itupun aku melanjutkan perjalananku meski seharusnya aku bisa bertahan sampai terbit matahari. Kutinggalkan dirimu sendiri duduk bersama sisa bau sebatang rokok kretek terakhir. Mendung menggantung manis menutupi bintang. Aku berjalan sambil bernyanyi dengan hati gembira ala para pengelana. Aku hanya berharap, aku bisa segera bertemu pengelana lain untuk sekedar meminta sebatang rokok saja. Dan kau tahu meski kau tak mau tahu, lima jam setelah pertemuan kita, kau dan aku. Aku di pertemukan juga dengan para pengelana. Dan kau tahu meski kau tak mau tahu, aku mendapat hadiah sebungkus rokok kretek yang sama seperti yang ku hisap saat kita berjumpa sampai kita berpisah, di tambah lagi aku menerima sebentuk kemurahan hati para pengelana berupa kesempatan untuk menghabiskan malam bersama secangkir kopi yang tak pernah aku rasakan selama ini baik aroma maupun rasanya. Aroma kopi yang begitu asing tapi memberikan kenikmatan tersendiri kepada penikmatnya dan kau tahu meski kau tak mau tahu, ketika kucicipi kopi itu, sungguh di luar dugaanku, sebab rasa dan aroma kopi itu saling mengisi dan melengkapi dan tak tahulah apalagi yang harus kuucapkan. Ada sebuah kenikmatan yang begitu asing, yang tak pernah aku rasakan. Itu yang bisa aku tangkap dari sebuah kenikmatan kopi suguhan para pengelana itu.

Selesai pesta kecil minum kopi, aku lanjutkan lagi perjalanan ku dan kali ini aku ke barat mengikuti sebuah kisah yang di ceritakan para pengelana pemilik kopi tadi. Dan kau tahu meski kau tak mau tahu, aku mendapat hadiah sekantung kopi bersama sebuah pesan. Akan ku ceritakan semua ini padamu nanti meski nanti itu tak ada lagi.

Kaputi Indah, 20 – 02 – 2010

UNTUK KALI INI

Untuk kali iini
kase biar kita pigi
bawa samua rasa sayang yang so nimbole torang mangarti
lagi



jumat 14 mei 2010