Selasa, 06 Juli 2010

KISAH UNTUKMU


Saya ada di sebuah pub oh bukan tapi sebuah tempat layaknya pub dan kalian tahu bagaimana suasana pub? Musik yang membuat dada menghentak, jantung yang berdegup kencang mengikuti alunan hentakkan musik yang tersambung pada pengeras suara yang dua sampai lima kali lebih besar daya dan ukurannya dari yang kalian punya dirumah. Atau adakah dari kalian, wahai pembaca saya yang budiman, yang belum pernah ke pub? Sungguh sangat di sayangkan apabila ada dari pembaca saya yang “terlampau” budiman bila belum pernah bertandang ke tempat itu lalu membicarakan hayalan kalian soal tempat itu dengan mengatakan bahwa tempat itu, tempat yang bernama pub itu adalah tempat berkumpulnya para maksiator, ini sebutan yang sengaja saya buat untuk para pelaku maksiat.

Saya bukan hendak menyuruh kalian kesana akan tetapi alangkah baiknya kalian tidak terjebak dengan hayalan – hayalan yang di suntikkan oleh mereka yang merasa telah budiman lebih dulu sehingga kalian, wahai pembaca yang budiman, merelakan nalar kalian di rasuki setan hayalan dan namanya hayalan saya rasa tidak perlu untuk di buktikan kalau kalian, wahai pembaca budiman, ingin menjadi orang yang terlampau mengkakukan diri kalian sendiri dengan pendapat para penghayal itu. Maka buktikan hayalan suapan itu dengan bertandang ke tempat bernama pub.

Masih di tempat yang sebenarnya bukan pub dan saya tak akan menyebut nama asli tempat dimana saya melahirkan tulisan ini. Saya baru saja menyelesaikan membaca sebuah kisah dari buku kumpulan cerpen yang saya beli kemarin. Dan, saya tidak mengerti dengan arah cerita itu maksud saya begini, cerita itu penuh dengan pengandaian atau menggunakan alias – alias atau metafora, meski saya tak tahu pengertian metafora yang sebenarnya itu apa. Tulisan itu kemudian mengilhami saya untuk menulis sepenggal ide yang tergenang akibat satu cerpen itu. Untung saja tidak sampai menyebabkan banjir dan sebenarnya saya tidak perlu khawatir untuk banjir sebab penyimpan air saya masih tetap terjaga walaupun di sisi lain saya sudah menyiapkan segala kemungkinan kalau – kalau saya khilaf sampai menyebabkan banjir. Perahu kano lengkap dengan dayung dua buah di sisi kiri dan kanan, pelampung sebanyak tiga buah, kompor gas mini dan segulung tali yang sering di gunakan para pendaki. Itu saja dulu yang saya siapkan selebihnya tolong di ingatkan lagi, oh iya ada yang terlupa, daftar nomor telpon untuk keadaan darurat. 

Masih juga di tempat yang sama, sejenak saya menghentikkan aktivitas saya untuk mengetik lanjutan cerita untuk paragraph keempat ini. Mungkn kalian, wahai pembaca budiman, tak bisa melihat aktivitas apa yang menghentikan saya tersebut maka baiklah saya akan menceritakan sedikit aktivitas yang lain sehingga menghentikan aktivitas saya yang utama. Saat saya sedang menulis kisah antah berantah ini, saya sedang menikmati segelas kopi yang telah saya buat sebelum menulis kisah ini dan sebatang rokok. Dan saya menghentikkan aktivitas utama saya, menulis karena saya ingin menikmati kopi saya sekaligus menghisap sebatang rokok yang hampir habis dan  tunggu sebentar, saya ingin meminum lagi kopi saya dan menyalakan sebatang rokok lagi dan setelah saya hitung ternyata rokok yang saya habiskan sudah tiga batang untuk waktu yang belum sampai setengah jam dan lagi rokok yang akan saya pasang ini adalah rokok ke empat saya.

Masih di tempat yang sama pula dari pertama kali saya memulai menulis ini tapi musik pubnya tadi sempat berhenti sepuluh menit. Selidik punya selidik tanpa harus mengambil alih tugas para peyelidik yang sedang menyelidiki kasus video mesum pasangan selebritis yang bikin geger dan sempat membuat semua orang jadi moralis ternyata alasan terhentinya musik pub itu karena si penyetel lagu kedataangan tamu perempuan yang saya ketahui dari suaranya pasti seksi kalau saja dia tahu dirinya seksi dan mudah – mudahan dia tak tahu dirinya seksi supaya tidak membuat dirinya kelebihan percaya diri.

Masih juga di tempat yang sama dengan paragraph – paragraph sebelumnya. Barusan juga saya berhenti mengetik cerita ini karena saya sedang mengucek – ngucek mata saya yang selalu salah lihat. Mungkin ini karena pengaruh keadaan mata saya yang terlalu sensitive dengan hal – hal yang begituan. Tapi, alangkah baiknya tak usah di bahas sebab bisa mengganggu alur cerita yang indah meski indahnya tak seperti surga yang sering di hayalkan atau ini adalah cerita yang buruk tapi mudah – mudahan tak seburuk keadaan neraka yang sering dijadikan bahan untuk menakut - nakuti anak – anak termasuk saya saat masih kecil.

Masih di pub yang saya katakan sebelumnya. Kini rokok yang telah saya hisap sudah resmi berubah menjadi empat batang dan kini puntungnya sudah tergeletak tak rapi di dalam asbak keramik. Kini saya dihinggapi kebingungan untuk meneruskan kisah antah berantah ini dari tempat yang sebelumnya saya katakan sebagai pub. Hidung sudah mulai gatal dan saya pun kebingungan dengan rasa gatal yang di buat – buat demi menyambung proses penulisan ini. Sejujurnya, saya menulis ini hanya sekedar ikut – ikutan saja menulis dengan gaya yang seperti ini. Ini semua karena cerpen yang saya baca tadi.  Dan saya tidak akan malu bila di katakan sebagai seorang penjiplak gaya menulis, dasar dari ketidakmaluan saya adalah saya ingin menjaga saja energi menulis saya sebab saya tak bisa meminta orang lain untuk menulis kalau saya tidak berusaha untuk menjaga konsistensi saya dalam menulis, rasanya percuma juga berceramah atau menasehati orang lain sementara si penceramah atau si pemberi nasehat hanya setengah – setengah menjalani semua yang dia ceramahi atau nasehatkan. Betul tidak? Kalau betul saya harapkan untuk tidak berdiri sambil bertepuk tangan atau dalam bahasa kerennya standing applause dan kalaupun tidak betul saya sungguh mengharapkan caci maki yang lebih kasar dari yang paling kasar dari yang yang paling kasar yang pernah tercipta dalam jagad kebahasaan meski tidak dianggap sebagai bagian dari bahasa.

Suara musik masih nyaman berbunyi di pub ini, menandakan saya belum mau beranjak dari tempat ini meskipun hari ini kalau tidak salah adalah hari senin di bulan juni entah hari senin yang keberapa dan kalau melihat kalender hari ini adalah tanggal dua puluh satu juni tahun dua ribu sepuluh. Suara musiknya kembali terhenti, mungkin si penyetel musik sudah bosan. Kini saya hanya mendengar suara air dari kamar mandi yang jaraknya tak terlalu jauh dari bilik tempat saya menulis kisah antah berantah ini.

Meski suara musiknya sudah berhenti tapi saya akan tetap mengatakan bahwa saya sedang berada di sebuah pub dan berada di sebuah bilik. Oh iya, saya punya sedikit cerita pengalaman saya kemarin sore. Saat saya sedang menunggu orang tua saya di depan sebuah hotel, saya melihat sepasang turis asing entah berasal dari Negara apa sedang berjalan kaki tiba – tiba melintas sebuah angkot yang di penuhi oleh anak – anak muda, perempuan dan laki – laki. Melihat kedua orang bule ini, beberapa orang perempuan muda yang ada dalam angkot itu meneriakkan kata – kata makian kepada kedua bule tersebut dengan begitu kerasnya. Saya hanya tersenyum menyayangkan kelakuan mereka itu. Bukan saya hendak menjadi seorang petugas kemanusiaan akan tetapi apa yang sedang berlaku itu cukup menjadi buah pikiran saya untuk beberapa jam saja menafsirkan tindakan anak – anak muda itu. Tafsir tak punya penafsir, saya hanya bisa berasumsi saja mungkin ini adalah sebuah euforia atau kekagetan atau kegagapan ketika melihat orang bule sekaligus ingin mempraktekkan perilaku yang mereka lihat di film – film luar negeri saja. Hehehehehehehe……

Saya masih di salah satu bilik di pub yang sama. Musiknya kini sudah mengalun lagi. Kini alunan musiknya tidak lagi menghentakkan dada dan jantung. Alunan musik lembut dan mendayu – dayu seakan mengajak orang untuk berdansa sambil berpelukkan atau menenggak minuman berkali – kali sambil menghayalkan pengalaman pribadinya bersama orang yang pernah dicintainya sampai harus mengorbankan segalanya. Memang cinta membuat hampir semua orang kehilangan kendali atas alam atas sadarnya. Apalagi di tambah dengan lagu – lagu yang disukai bersama seakan sedang beakting dalam sebuah film mandarin saja. Memimpikkan sebuah cerita yang happy ending dan menyesalinya bila cerita yang diinginkan berlaku sebaliknya atau bad ending. Kenginan untuk menyelesaikan cerita layaknya dongeng Cinderella atau putrid salju dimana selalu berakhir dengan kalimat “dan mereka pun hidup bahagia selamanya” begitu indah bersarang dalam nalar para pelakon drama cinta. Tapi, itu hak mereka juga kan ? tidak betul ?

Masih tetap di bilik pub dan entah sampai kapan saya akan berada di sini. Dan bila terbersit tanya pada diri kalian wahai pembaca budiman tentang kenapa saya selalu memulai dengan tempat saya berada sekarang ini. Saya harap kalian bersabar untuk menunggu jawabannya sebab saya masih ingin bercerita. Alunan musik lembut yang mengajak orang berdansa sambil berpelukkan atau sekedar menenggak minumannya berkali – kali sambil menhayalkan kenagan indah nan pahit bersama orang yang dicintai dahulu sudah berhenti sepuluh menit yang lalu dan kini diganti lagi dengan lagu – lagu sebelumnya. Mungkin ada gerutu tapi begitulah suasana pub. Disini orang bisa di nina bobokkan dengan lantunan halus musik yang mendayu – dayu dan tiba – tiba kembali di hentakkan dengan lantunan musik berirama cepat dan menghentak membuat orang ingin berajojing riang sambil menggesek – gesekkan badan.

Dari salah satu bilik pub ini dan tanpa harus menenggok keluar untuk melihat orang – orang yang sedang beraksi dengan berbagai macam goyangan spesial mereka akan ketahuan dari suara – suara mereka yang berteriak kegirangan saat bergoyang menikmati lantunan musik berkeringat itu.
 
Saya masih menulis menulis dari dalam bilik pub. Kita tetap berteman kan? Ini adalah garis besar dari pertanyaan teman saya ketika kami berkumpul menikmati sore yang baru saja di hujani atau sore itu hujan baru saja selesai turun dengan secangkir kopi di sebuah kantin salah satu universitas ternama di daerah kabupaten Gorontalo. Hari itu adalah hari dimana kami baru saja menggelar acara Launching jurnal kami. Dan selanjutnya pembicaraan mengenai keberlagsungan jurnal ini dilanjutkan di kantin sambl menikmati minuman hangat agar pembicaraan kami tetap hangat atau tetap di jaga kehangatannya. Saya memang meniatkan untuk mundur dari jabatan sebagai pemimpin redaksi jurnal itu dan niat itu terlaksana dengan mulus setelah tawaran saya ternyata tidak tersetujui. Dan kalimat tanya itu pun terlontar dari salah satu teman saya dimana bagi saya tidak seharusnya di tanyakan. Saya tertawa saja mendengar itu, bisa – bisanya pertanyaan itu terlontar. Bukankah kita sama - sama menginginkan perubahan ? akan tetapi untuk memilah mana urusan kerja dan urusan perkawanan saja tidak bisa kita lakukan. Tapi, itu terserah kalianlah. Bila cara berpikir seperti ini tetap di pertahankan maka kita mau tidak mau harus berhadap – hadapan dan itu berarti perkawanan kita hanyalah usaha saling tipu menipu saja. Siapa yang paling hebat tipu muslihatnya maka dialah yang akan memenangkan pertarungan ini.  Dan perubahan yang terjadi pun bukanlah perubahan yang kita inginkan.
Masih di bilik pub yang sama. Suara – suara perempuan – perempuan dalam balutan pakaian super seksi ini saya ketahui karena saya sudah tidak tahan untuk mengintip aksi goyangan mereka dan 1000 kali wow !!! zakar saya sudah di buat bangun dan seribu macam hayalan sudah merangsak masuk kedalam otak saya hendak mengkudeta ide – ide saya dalam menulis. Langsung saja saya kembali ke dalam bilik saya dan tidak lupa memesan satu pitcher minuman dengan kadar alcohol yang rendah. Saat saya hendak berjalan kembali ke bilik saya, saya berpapasan dengan seorang perempuan muda dalam balutan pakaian yang seksi. Baju dengan model terusan ketat dimana panjangnya hanya sampai di atas lutut. Lorong yang hanya bisa menampung satu ukuran tubuh memaksa kami untuk berjalan sambil menyamping dan itu menyebabkan posisi kami berhadapan, saat berusaha berjalan dengan menyamping itulah dan saat kami berada pada posisi berhadapan dadanya yang mengembang pun tersentuh, keadaan itu membuat saya mengatakan permohonan maaf saya kepadanya dan perempuan itu tersenyum saja tapi sebelum jarak kami berjauhan ada yang menahan tangan saya. Saya pun kaget dan berpaling, ternyata tangan perempuan itu menagan tangan saya dan langsung menarik saya ke dalam salah satu bilik. Disanalah untuk waktu tidak sampai setengah jam kami memanjakan bibir kami dan tangan kami. Maaf para pembaca budiman, ini saya ceritakan sekedar sebagai bagian pengalaman saja dan bukan bermaksud berporno riang gembira. Kami hanya berciuman dan saling menjelajah tubuh saja dan tidak sampai dengan adegan telanjang. Ini mungkin sekedar melampiaskan “kegembiraan” hati saja.

Saya kembali ke bilik saya. Saat memasuki bilik, saya mendapati seorang pengantar minuman yang juga seorang perempuan dengan kemeja dari bahan yang agak kasar berwarna biru dan mengenakan rok mini sedang memperhatikan laptop saya. Dia tidak duduk saat mengamati laptop saya tapi hanya membungkuk. Dari arah belakang kelihatan rok mininya terangkat sehingga terlihat sebagian pahanya. Saya langsung duduk dan perempuan itu kaget melihat saya. Maaf katanya, saya hanya tersenyum saja. Saya hanya berkata “tidak apa – apa”. lalu saya melanjutkan kalimat saya, “kamu suka dengan cerita saya ini?”. Pelayan perempuan yang masih berdiri yang mungkin sedang menunggu hukuman dari saya karena telah lancang melihat laptop saya pun berkata “itu cerita apa?”. Saya lalu memintanya untuk membaca sekali lagi cerita ini tapi sayang dia masih punya tugas lain dan akhirnya kami pun bertukaran nomor hape dan saya berjanji kalau cerita ini sudah selesai saya akan menghubungi dia.

Saya meneruskan mengetik cerita antah berantah ini. Dan mungkin kalian wahai pembaca yang budiman akan sedikit bertanya apakah benar ada sebuah  pub yang menyediakan kopi. Tentu saja jawabannya ada kalau kalian mau berfikir untuk memesannya. Saya menuangkan minuman pesanan saya. Meminumnya sedikit dan meneruskan aktivitas menulis saya dari salah satu bilik pub ini. Saat mulai paragraph yang baru, pelayan perempuan tadi kembali ke bilik saya. “maaf” katanya dan saya mengatakan “ada apa?” dia langsung duduk di sebelah saya dan langsung mencium saya tepat di bibir. Lima menit kami bergumul lidah, dan setelah selesai dia berkata untuk tidak lupa pada janji saya. Saya hanya tersenyum dan mengiyakan permintaannya itu. Dua kali sudah saya menikmati ciuman dari dua perempuan yang berbeda. Bila kalian, wahai pembaca budiman, menganggap kedua perempuan ini tidak memiliki harga diri atau saya sengaja untuk menjatuhkan derajat perempuan itu bukanlah maksud saya. Saya hanya penyampai pengalaman saja. Pelayan perempuan itu telah keluar dari bilik saya dan kembali melanjutkan kerjanya sebagai pelayan di pub ini. Dan saya melanjutkan aktivitas menulis saya sambil menikmati minuman yang di antarkan oleh pelayan perempuan tadi.

Saya masih tetap berada di salah satu bilik pub yang saya katakan di awal bukanlah sebuah pub. Sejenak saya menghentikkan aktivitas menulis saya dengan membaca ulang tulisan saya ini dan menemukan sebuah kebosanan. Mudah – mudahan kalian wahai pembaca budiman menemukan kebosanan yang sama pula saat membaca tulisan ini. Saya melihat ke arah asbak, disitu telah ada tujuh puntung rokok. Tujuh, adalah sebuah angka yang mengingatkan saya ketika di umur tujuh tahun saya mengikuti sebuah lomba menulis indah dengan huruf sambung. Dan di akhir umur tujuh tahun, saya mendapat sebuah buku kumpulan roman Indonesia yang di belikan ayah saya ketika dia mengikuti penataran pegawai di Jakarta. Saat itu juga di televisi yang masih setia dengan siaran TVRI tidak seperti siaran televisi sekarang ini yang telah ramai dengan berbagai chanelnya tengah menampilkan tiga film berturut - turut yang diangkat dari tiga kisah roman yang berjudul; Siti Nurbaya, Sengsara Membawa Nikmat, dan Mencari pencuri Anak Perawan”. Untuk cerita roman yang terakhir yang diangkat ke layar televisi ini saya tidak menontonnya sampai selesai.  Namun yang cukup membanggakan saya adalah saya bisa mendapat semangat untuk menulis dari memori lama itu meski saya sering menjebak diri dengan rasa malas.

Saya masih tetap di salah satu bilik pub. Entah sudah berapa lama saya disini tapi saya enggan untuk melihat jam. Satu pitcher minuman ternyata terlalu banyak buat saya. Kepala sudah terasa berat dan perut saya sudah terasa penuh dengan cairan. Saya sudah beberapa kali ke kamar kecil. Dan saatnya saya harus sedikit menjelaskan kenapa saya selalu memulai setiap paragraph dengan tempat saya berada tapi maaf kepala saya sudah cukup berat dan kemalasan saya sudah datang jadi wahai para pembaca budiman saya memohon kebudimanan kalian untuk tidak memaksa saya menjelaskan alasan ini. Bila kebosanan melanda kalian saat membaca kisah saya ini, saya memohonkan maaf sebab saya pun bosan dengan tingkah laku mereka. Tak perlu saya jelaskan “mereka” itu siapa. Biarlah itu menjadi misteri. Bukankah Negara ini penuh dengan cerita misteri. Bahkan cerita yang seharusnya tak pantas untuk menjadi misteri di paksakan untuk di misteri – misterikan. Dan memang, terkadang misteri akan indah bila dia tetap menjadi misteri. Asalkan tidak di sengaja memisterikannya saja. Bila ada yang bertanya indahnya dimana maka akan saya katakan bahwa indahnya misteri itu terletak pada sekian banyaknya perbedaan yang muncul akibat dari usaha untuk memecahkan misteri itu.

Saya masih duduk di dalam bilik sebuah pub, menikmati minuman saya sambil merokok. Sambil membaca lagi tulisan ini. Mengkoreksinya sedikit dan akhirnya selesai juga. Saatnya saya harus meninggalkan bilik pub ini. Mengumpulkan lagi bahan buat tulisan selanjutnya lewat bacaan – bacaan yang tercecer dan sering menjadi biang keluh kesah.   

Manado, 21 Juni 2010









Tidak ada komentar:

Posting Komentar