Senin, 23 Mei 2011

DENTING REVOLUSI


Terkadang ada rasa kesal ketika anak – anak muda yang “sudah mampu bersekolah” sampai ke jenjang universitas dan berkecimpung di organisasi kampus baik ekstra dan intra kampus meneriakkan kata revolusi. Padahal kalau dilihat dari rentang sejarah Indonesia. Indonesia ini pun hanya memiliki satu babakan sejarah gerakan revolusi yakni di tahun 1945  dan dari revolusi yang di gembar – gemborkan oleh Soekarno lewat pidato maupun orasi – orasinya sampai sempat menjadi diktator marhaenis di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan ada baiknya juga mengatakan terima kasih kepada anak – anak muda tahun ’66 atas keberhasilan mereka menumbangkan Soekarno serta “menjadi penyokong” berdirinya negara Indonesia di bawah kepemimpinan fasis orde baru yang bibit – bibit fasis dan cenderung rasialis bertahan sampai hari ini, dan tak lupa pula untuk mengucapkan terima kasih kepada anak – anak muda terpelajar yang di tahun 1998 berhasil menumbangkan si rezim penumbang orde lama dan sekaligus pengekang demokrasi.
Lalu untuk apa revolusi di dengung – dengungkan kalau yang lahir malah kegagapan saja?
Dari sini saya lalu ingat sebait puisi seorang kawan, Sen Teno namanya, yang berjudul “Revolusi Menjadi Lelucon” pada bait terakhir puisi itu berbunyi seperti ini :
Inikah lelucon revolusi
Membumi namun tak menyentuh tanah
Mengudara dengan pinjaman udara
Menghujam tapi membuat tertawa
Beginikah nasib revolusi?    

Memang sekarang revolusi tak lagi revolusi  artinya kata “revolusi” yang bagi sebagian orang adalah sesuatu yang begitu bermakna kini tak lebih dari pemanis mulut saja dan ini selalu muncul dari mulut anak – anak muda yang mengaku dan pengaku sebagai anak muda yang sudah merasa cukup membaca Karl Marx, Engels, Lenin, Trostky, Stalin, Mao Ze Dong sampai Tan Malaka lantas dengan mudahnya mengatakan bahwa “kita harus revolusi!!!” atau yang lebih ironis lagi ada pula anak muda yang hanya kebetulan membaca atau mendengar sepintas lalu soal Karl Marx lantas teriak – teriak soal revolusi. Menjadi kiri itu seksi tapi tetap saja se-seksi apapun istilah kiri itu akan tetap kalah seksinya dengan Maria Ozawa alias Miyabi.

Reformasi ternyata membawa sebuah kesialan bagi kelompok anak muda yang mati – matian menyembunyikan kata revolusi dalam hatinya. Inilah rasa sesal lain yang saya katakan di awal tulisan ini. Buku – buku tentang gerakan dunia ketiga yang hampir kesemuanya beraroma “kiri” mudah di dapatkan. Tokoh – tokoh gerakan radikal baik itu dari kubu Manshevik dan Bolshevik dari Rusia sampai pada tokoh – tokoh gerakan radikal Indonesia baik itu Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir semua bisa didapatkan dengan mudah bahkan lebih dari itu gambar mereka pun terpampang di kaos – kaos. Awalnya gerakan pemampangan gambar tokoh radikal dan revolusioner ini menjadi sebuah alat propaganda misalnya soal gambar salah satu tokoh revolusi Kuba, Che Guevara begitu banyak di cari dan menjadi ikon perlawanan sampai datang masa dimana ikon Che Guevara sudah berubah jauh beralih fungsi dan maknanya dari sebagai alat propaganda  menjadi ladang penumpukkan modal / capital yang tentunya menjadi sasaran kritik tokoh yang wajahnya terpampang di kaos tersebut.

Hadirnya jejaring social network, facebook, sebagai sebuah bukti dari pesatnya perkembangan teknologi dalam dunia ke – internet – an sebagai sebuah dunia ke empat setelah tiga dunia yang sebelumnya ada menjadi tantangan tersendiri buat anak – anak muda yang “menggandrungi” gerakan – gerakan revolusioner.  Kemampuan dalam memasuki ranah atau ruang dunia ke empat yang sering di sebut sebagai dunia maya ini hanya berkisar pada memenuhi tuntutan pergaulan saja selebihnya tidak. Untung saja, ruang dalam dunia maya misalnya facebook lebih bisa dikatakan (sedikit) demokratis untuk hal – hal yang dianggap tabu oleh keadaan social di dunia nyata. Istilah – istilah yang sampai hari ini masih menadi momok menakutkan seperti komunisme, sosialisme, gerakan fundamental keagamaan lebih bisa mendapat ruang yang cukup nyaman. Akan tetapi, itu semua hanya sebatas dalam dunia maya saja selebihnya tidak.

“Biarkan anak – anak muda itu bergembira disitu dengan sebanyak mungkin istilah yang kita perangi bersama, dan kita tidak perlu risau dengan itu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mematangkan kondisi buat anak – anak muda, sebuah kondisi dimana mereka akan mengusahakan apa yang menjadi cita – cita kita, penumpukan modal pribadi”. Inilah kalimat yang tersembunyi dan sering terabaikan oleh kita dari para pemegang kekuasaan produksi bernama kapitalis. Perusahaan TNCs (Trans National Corporations) dan MNCs (Multy National Corporations) melenggang keluar masuk Negara demi Negara di dunia ketiga termasuk Indonesia sementara anak mudanya hanya sibuk berkutat dengan pertarungan – pertarungan yang sudah hampir berabad lamanya terjadi malah dipraktekkan lagi di masa sekarang.

“Berteriaklah sekeras – kerasnya soal revolusi, komunisme, sosialisme sesuka hati kalian wahai anak muda. Semakin keras teriakan kalian maka semakin keras pula perusahan – perusahaan kami mengeruk isi perut bumi yang kalian pijaki”. Ini pula yang dikatakan oleh para pembesar – pembesar pemilik modal dan pemberi hutang ke Negara kita tapi sayangnya kata- kata ini tidak pernah tercermati dalam teks- teks yang terdapat di ratusan buku – buku radikal.

Ketidak cermatan melihat kalimat – kalimat itu bukanlah tanpa sebab.  Kegagapan dan ketidakmandirian dalam berilmu pengetahuan menjadi penyebab ketidak cermatan tersebut. Sehingga ilmu pengetahuan langsung menjadi sesuatu yang serba tetap dan kaku sama seperti ketika mempelajari induk ilmu pengetahuan dan induk dari gerakan revolusioner yakni filsafat. Penumpukkan konsentrasi pada sesuatu yang bersifat insidental seperti kalimat – kalimat kunci misalnya “Cogito ergo sum” nya Rene Descartes  atau “tuhan telah mati” nya Nietszche  adalah sasaran utama demi menunjang argumentasi – argumentasi yang terbukti kosong melompong. Tokoh – tokoh filsafat tidak dianggap sebagai manusia yang berproses atau berdialektika baik itu selama dia hidup bahkan sampai setelah kematiannya, tapi dinilai dan diakrabi sebagai sebuah kekayaan intelektual semata. Dari soal kekayaan intelektual inilah bibit – bibit kapitalisme mulai terbentuk dalam ruang berfikir anak muda tanpa disadarinya.

Ketidak sadaran dan keterkungkungan ilmu pengetahuan hanya pada satu corak pengetahuan saja menjadikan anak muda tidak lagi bisa memahami dengan jeli dan bertindak secara kreatif untuk mengusung rencana – rencana strategis dari apa yang sering didiskusikannya dengan teman, sahabat dan kawan dalam kelompok kecil maupun besar.

Lalu, apa gunanya teriak revolusi? Sungguh tak ada sebuah pelarangan berarti soal meneriakkan atau sekedar menggumamkan revolusi akan tetapi yang menjadi soal adalah kebebasan meneriakkan “revolusi” itu tidak di barengi dengan sebuah pertanggung jawaban  yang minimalnya tidak perlu berstandar keilmuwan bikinan kelompok liberatif pengusung pasar bebas. Pertanggung jawaban keilmuwan inilah yang membedakan teriakan revolusi kita dengan teriakan revolusi anak – anak yang baru saja mengidap penyakit ke kiri – kirian.
Semoga saja revolusi akan mendapat tempat yang lebih layak lagi dan bukan menjadi sebuah lelucon seperti yang di katakan sahabat Sen Teno dalam puisinya itu.
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
“ Kalau bukan kita, siapa lagi?”
                                                                                                                                         
Kaputi Indah,  Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar